REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Uni Eropa pada Senin (20/2/2023) pekan ini mengadopsi paket sanksi keenamnya kepada junta militer Myanmar dengan alasan pelanggaran hak asasi manusia.
Para menteri luar negeri Uni Eropa menyetujui "langkah-langkah pembatasan terhadap sembilan orang dan tujuh entitas sehubungan dengan terus meningkatnya kekerasan, pelanggaran berat hak asasi manusia, dan ancaman terhadap perdamaian, keamanan, dan stabilitas di Myanmar," kata Dewan Uni Eropa yang merupakan lembaga Uni Eropa yang mewakili negara-negara anggota blok benua ini.
Para diplomat tinggi itu juga menegaskan kembali bahwa Uni Eropa mengutuk sekeras-kerasnya pelanggaran berat hak asasi manusia, termasuk kekerasan seksual, penganiayaan terhadap warga sipil, dan serangan terhadap penduduk sipil yang juga menyasar anak-anak dan orang-orang dari minoritas-minoritas etnis dan agama di seluruh negeri.
Mereka yang masuk daftar hitam adalah menteri energi Myanmar, para pengusaha terkemuka, dan para perwira tinggi militer yang dilarang bepergian dan menghadapi pembekuan aset.
"Juga termasuk para politisi dan administrator wilayah Yangon yang terlibat dalam proses hukuman mati dan eksekusi empat aktivis demokrasi pada Juli 2022, dan negara bagian Kachin, di mana mereka mengawasi serangan udara, pembantaian, penggerebekan, pembakaran, dan penggunaan perisai manusia oleh militer," tambah Uni Eropa.
Sanksi baru ini membuat jumlah individu dan entitas terkena sanksi bertambah masing-masing menjadi 93 dan 18. Uni Eropa juga mempertahankan embargo senjata dan peralatan militer.
Pada 1 Februari 2021, junta militer Myanmar merebut kekuasaan setelah menuding pemilihan umum 8 November 2020 berlangsung curang.
Tentara menangkap para pemimpin dan pejabat partai penguasa Liga Nasional untuk Demokrasi, termasuk pemimpin de facto dan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi. Mereka kemudian menjatuhkan hukuman 33 tahun penjara kepada Suu Kyi.
UNICEF mengatakan dalam dua tahun terakhir ini jumlah pengungsi bertambah menjadi lebih dari 1,5 juta orang.
Menurut laporan PBB belum lama ini, setidaknya 2.890 orang tewas di tangan militer dan mereka yang bekerja untuk mereka.