REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Bank Dunia pada Senin (27/2/2023) memperkirakan, kerugian akibat gempa dahsyat yang melanda Turki mencapai sekitar 34,2 miliar dolar AS atau setara Rp 522,234 triliun (kurs Rp 15.270 per dolar AS). Bank Dunia juga memperkirakan, gempa bumi akan memangkas setidaknya setengah poin persentase dari perkiraan pertumbuhan produk domestik bruto Turki sebesar 3,5 persen hingga 4 persen pada 2023.
Wakil Presiden Bank Dunia untuk Eropa dan Asia Tengah, Anna Bjerde, mengatakan, perkiraan nilai kerugian gempa di Turki setara dengan sekitar 4 persen dari hasil ekonominya pada 2021. Tetapi, nilai itu tidak termasuk dampak tidak langsung atau sekunder pada pertumbuhan ekonomi Turki atau gempa bumi terbaru seminggu yang lalu.
"Pengalaman kami, kebutuhan rekonstruksi dapat mencapai dua hingga tiga kali lipat dari perkiraan kerusakan fisik langsung," kata Bjerde.
Gempa bumi 6 Februari dengan magnitudo 7,8 dan 7,5 skala ritcher telah menewaskan lebih dari 44.300 orang di Turki. Gempa juga terasa hingga Suriah dan Lebanon. Bank Dunia mengatakan gempa bumi tersebut diikuti oleh lebih dari 7.500 gempa susulan, dan merupakan bencana terbesar yang menyerang Turki dalam lebih dari 80 tahun.
Laporan Global Rapid Post-Disaster Damage Estimation (GRADE) Bank Dunia memperkirakan, 1,25 juta orang kehilangan tempat tinggal karena kerusakan rumah mereka, atau keruntuhan total. Kerusakan terparah terjadi di 11 provinsi di Turki selatan yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi di negara itu. Wilayah itu menampung lebih dari 1,7 juta pengungsi Suriah, atau sekitar setengah dari total populasi pengungsi Suriah di Turki.
Bank Dunia telah memberikan bantuan segera sebesar 780 juta dolar AS untuk Turki dari dua proyek yang telah ada. Bank Dunia juga memberikan batuan 1 miliar dolar AS dalam proyek pemulihan darurat baru.