REPUBLIKA.CO.ID, MOGADISHU -- Direktur rumah sakit Kota Las-Anod, Somaliland, mengatakan bahwa selama dua bulan terakhir, sudah sekitar 145 orang tewas dalam pertempuran antara pemberontak anti-pemerintah dan pasukan keamanan Somaliland. Pertempuran pecah usai tetua setempat mengatakan berniat bergabung kembali dengan Somalia.
Abdimajid Sugulle mengatakan, lebih dari 1.080 orang lainnya terluka dan 100 ribu keluarga meninggalkan Las-Anod sejak akhir Desember lalu. Ia mengatakan sebagian warga sipil mengungsi. Ia juga menuduh pasukan Somaliland menghancurkan laboratorium rumah sakit, bank darah, dan bangsal pasien dengan mortir.
"Pasukan Somaliland yang berada di luar kota penembakan rumah warga sipil dan fasilitas medis tanpa pandang bulu, tidak ada hari tanpa tembakan dan korban jiwa," kata Sugulle pada kantor berita Associated Press, Ahad (6/3/2023).
Kementerian Pertahanan Somaliland membantah pasukannya menembak rumah sakit dan pemerintah menegaskan "komitmennya" pada gencatan senjata yang dideklarasikan pada 10 Februari.
"Tembakan tanpa pandang bulu pada warga sipil tidak bisa diterima dan harus dihentikan," kata PBB dan mitra-mitra internasional bulan lalu.
Somaliland pisah dari Somalia tiga dekade yang lalu dan mencari pengakuan internasional sebagai negara merdeka. Selama bertahun-tahun Somaliland dan Negara Bagian Puntland, Somalia, bersengketa atas Kota Las-Anod, tapi sebelah timur kota itu dikuasai Somaliland.
Misi PBB di Somalia dan Kantor Hak Asasi Manusia PBB mengatakan kekerasan antara 28 Desember sampai 28 Februari setidaknya telah menewaskan 80 orang dan lebih dari 450 non-kombatan terluka termasuk personel medis. PBB meminta kedua belah pihak menghormati petugas medis dan tidak menghalangi bantuan kemanusiaan.
Konflik di Las-Anod dimulai ketika orang tidak dikenal menembak politisi muda populer dari partai oposisi pemerintah Somaliland saat ia pulang dari masjid. Unjuk rasa anti-pemerintah dan pasukan keamanan pun pecah.
Pemerintah Somaliland menyalahkan pengunjuk rasa sebagai "kelompok teroris dan anti-perdamaian". Mereka juga menuduh kelompok ekstremis al-Shabab yang berafiliasi dengan Alqaidah mendukung serangan-serangan tersebut.