Senin 13 Mar 2023 17:59 WIB

Dibawah Xi Jinping Ketiga Kali, Cina Ingin Ambil Alih Peran Global Lebih Besar

Perdamaian Saudi dan Iran merupakan keberhasilan diplomatik Cina di kancah global

Rep: Amri Amrullah/ Red: Esthi Maharani
Presiden China Xi Jinping menghadiri sesi Kongres Rakyat Nasional China (NPC) di Aula Besar Rakyat di Beijing, Jumat (10/3/023). Pemimpin China Xi Jinping dianugerahi masa jabatan lima tahun ketiga sebagai presiden pada hari Jumat, menempatkan dia di jalur untuk tetap berkuasa seumur hidup pada saat tantangan ekonomi yang parah dan meningkatnya ketegangan dengan AS dan lainnya.
Foto: AP Photo/Mark Schiefelbein
Presiden China Xi Jinping menghadiri sesi Kongres Rakyat Nasional China (NPC) di Aula Besar Rakyat di Beijing, Jumat (10/3/023). Pemimpin China Xi Jinping dianugerahi masa jabatan lima tahun ketiga sebagai presiden pada hari Jumat, menempatkan dia di jalur untuk tetap berkuasa seumur hidup pada saat tantangan ekonomi yang parah dan meningkatnya ketegangan dengan AS dan lainnya.

REPUBLIKA.CO.ID, BEJIING -- Presiden Cina, Xi Jinping menyerukan agar Cina memainkan peran yang lebih besar dalam mengelola urusan global. Hal itu disampaikan Xi pada Senin (13/3/2023), setelah Beijing membuat kesepakatan damai antara Arab Saudi dan Iran.

Apa yang berhasil dilakukan Beijing dengan membuka kembali hubungan diplomatik dua negara, Saudi dan Iran merupakan keberhasilan diplomatik yang membalikkan posisi penting Cina di kancah global.

Baca Juga

Xi tidak memberikan perincian tentang rencana Partai Komunis yang berkuasa dalam pidatonya. Tetapi Beijing semakin tegas sejak dia mengambil alih kekuasaan pada tahun 2012 dan menyerukan perubahan dalam Dana Moneter Internasional (IMF) dan entitas lain yang disebutnya gagal mencerminkan keinginan negara berkembang.

"Cina harus berpartisipasi aktif dalam reformasi dan pembangunan sistem tata kelola global dan mempromosikan inisiatif keamanan global,” kata Xi, yang resmi pemimpin Cina ketiga kalinya, dan diprediksi menuju negara yang paling kuat dalam beberapa dekade kedepan.

"Langkah itu akan menambah energi positif bagi perdamaian dan pembangunan dunia," kata Xi menambahkan.

Pada hari Jumat, Xi diangkat kembali untuk ketiga kalinya. Kongres PKC memberi Xi masa jabatan lima tahun ketiga sebagai sekretaris jenderal partai yang berkuasa, memungkinkan Xi sebagai pemimpin Cina seumur hidup.

Kongres Rakyat Nasional pada hari Ahad juga mengokohkan dominasi Xi dengan mendukung penunjukan loyalisnya sebagai perdana menteri dan pejabat penting. Xi telah mengesampingkan saingan potensial dan mengisi jajaran teratas dengan para pendukungnya.

Perdana menteri baru, Li Qiang, Senin (13/3/2023) dalam pernyataannya, mencoba meyakinkan para pengusaha terkait perbaikan ekonomi Cina.

"Partai akan memperlakukan perusahaan dari semua jenis kepemilikan secara setara dan mendukung pengembangan dan pertumbuhan perusahaan swasta," kata Li.

“Kader-kader unggulan kita di semua tingkatan harus tulus peduli dan melayani perusahaan swasta,” katanya.

Li mengatakan Beijing akan memprioritaskan penciptaan lapangan kerja saat mencoba menghidupkan kembali pertumbuhan ekonomi yang merosot hingga 3 persen tahun lalu.

"Target pertumbuhan resmi tahun ini adalah sekitar 5 persen," kata Li.

Di luar negeri, Beijing juga telah membangun kekuatan. Ini yang dikhawatirkan oleh Washington, Tokyo, Moskow, dan New Delhi bahwa Cina akan memperluas pengaruh strategisnya di kawasan.

Itu termasuk Belt and Road Initiative bernilai miliaran dolar untuk membangun pelabuhan, kereta api, dan infrastruktur terkait perdagangan lainnya di berbagai negara dari Pasifik Selatan melalui Asia hingga Afrika dan Eropa. Cina juga akan terus mempromosikan inisiatif perdagangan dan keamanan.

Pemerintah Xi mengguncang Amerika Serikat dan Australia pada awal 2022 ketika menandatangani perjanjian dengan Kepulauan Solomon yang akan mengizinkan kapal angkatan laut dan pasukan keamanan Cina ditempatkan di negara Pasifik Selatan itu.

Menteri Luar Negeri Cina, Qin Gang, memperingatkan Washington pekan lalu tentang kemungkinan konflik dan konfrontasi, jika Amerika Serikat tidak mengubah arah dalam hubungan yang telah tegang akibat konflik terkait Taiwan, Hak Asasi Manusia, Hong Kong, keamanan dan teknologi.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement