REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Turki Recep Tayyip Erdogan kembali mengincar kursi presiden untuk masa jabatan ketiga berturut-turut dalam pemilihan Mei 2023 mendatang. Jika nantinya terpilih, Erdogan akan menandai 20 tahun berkuasa.
Erdogan yang kini berusia 69 tahun, telah menjabat sebagai perdana menteri dari 2003-2014 dan sebagai presiden setelah itu. Pemilihan presiden dan parlemen yang ditetapkan pada 14 Mei 2023 mendatang bisa jadi Pemilu yang paling menantang bagi Erdogan. Pemilu itu akan diadakan di tengah gejolak ekonomi dan inflasi yang tinggi, dan hanya tiga bulan setelah gempa dahsyat di Turki yang menewaskan puluhan ribu orang.
Berikut adalah beberapa momen penting selama pemerintahan Erdogan yang telah berjalan 20 tahun:
27 Maret 1994: Erdogan terpilih sebagai wali kota Istanbul, maju di atas tiket Partai Kesejahteraan pro-Islam.
12 Desember 1997: Erdogan dihukum karena "menghasut kebencian". Ia membaca puisi yang dianggap melanggar prinsip sekuler Turki oleh pengadilan, dan dijatuhi hukuman empat bulan penjara.
14 Agustus 2001: Erdogan, yang memisahkan diri dari Partai Kesejahteraan bersama anggota lain dari sayap reformisnya, membentuk Partai Keadilan dan Pembangunan yang konservatif, atau AKP.
3 November 2002: Setahun setelah didirikan, AKP memenangkan mayoritas parlemen dalam pemilihan umum. Namun Erdogan, dilarang mencalonkan diri karena keyakinan politiknya.
9 Maret 2003: Erdogan terpilih menjadi anggota parlemen dalam pemilihan sela setelah larangan politiknya dicabut.
14 Maret 2003: Erdogan menggantikan rekannya dari AKP Abdullah Gul sebagai perdana menteri.
3 Oktober 2005: Turki memulai pembicaraan aksesi dengan Uni Eropa setelah pemerintah Erdogan memperkenalkan serangkaian reformasi.
22 Juli 2007: Erdogan memenangkan 46,6 persen suara dalam pemilihan umum.
31 Maret 2008: Mahkamah Konstitusi menerima dakwaan meminta penutupan AKP untuk tindakan yang diduga melanggar prinsip sekularisme. Pengadilan akhirnya memutuskan untuk tidak menutup partai, tetapi memotong pembiayaan perbendaharaan untuk partai politik tersebut.
20 Oktober 2008: Serangkaian persidangan pertama terhadap perwira militer, anggota parlemen, dan tokoh masyarakat dimulai. Para tersangka dituduh berencana menggulingkan pemerintah, yang ternyata merupakan pengadilan palsu berdasarkan bukti palsu dan dirancang untuk melenyapkan lawan Erdogan. Pengadilan tersebut kemudian disalahkan pada jaringan ulama Fethullah Gulen yang berbasis di AS.
12 September 2010: Erdogan memenangkan referendum tentang perubahan konstitusi yang memungkinkan pemerintah untuk menunjuk hakim pengadilan tinggi, mengekang kekuasaan militer dan memastikan presiden dipilih melalui pemungutan suara nasional, bukan oleh parlemen.
12 Juni 2011: Erdogan memenangkan pemilihan umum dengan telak 49,8 persen suara.
28 Mei 2013: Protes anti-pemerintah nasional meletus terkait rencana penebangan pohon di Taman Gezi pusat Istanbul. Protes terbesar di Turki mengakibatkan delapan orang meninggal, sementara pemerintah dituduh menggunakan kekuatan berlebihan terhadap pengunjuk rasa.
10 Agustus 2014: Erdogan memenangkan pemilihan presiden pertama Turki yang diadakan melalui pemilihan umum langsung. Meskipun jabatan tersebut sebagian besar bersifat seremonial, dia dituduh melebihi kekuasaannya dan ikut campur dalam menjalankan negara.
7 Juni 2015: AKP, dipimpin oleh Ahmet Davutoglu setelah Erdogan menjadi presiden, kehilangan mayoritasnya dalam pemilihan parlemen, dan terpaksa mencari koalisi.
1 November 2015: AKP mendapatkan kembali mayoritas parlemen dalam pemilihan ulang setelah berbulan-bulan ketidakamanan, termasuk pemboman bunuh diri oleh kelompok Negara Islam dan menyalakan kembali konflik selama puluhan tahun dengan militan Kurdi.
15 Juli 2016: Pemerintah Erdogan selamat dari upaya kudeta militer yang dituduhkan kepada pengikut ulama Gulen yang berbasis di AS. Kudeta yang gagal mengakibatkan hampir 290 kematian. Pemerintah kemudian memulai penumpasan besar-besaran terhadap jaringan Gulen, menangkap puluhan ribu dan membersihkan lebih dari 130 ribu pegawai i kut pemerintah.
Banyak media dan organisasi nonpemerintah ditutup dan tindakan keras kemudian meluas ke kritik, termasuk anggota parlemen dan jurnalis Kurdi. Pembicaraan aksesi Uni Eropa, yang mengalami kemajuan lambat, terhenti di tengah kemunduran demokrasi.