REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Sebelas pekan sejak kembali berkuasa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu belum menerima undangan ke Gedung Putih. Pengamat menilai hal ini menandakan Washington tidak senang dengan kebijakan pemerintah sayap kanan yang baru.
Kantor berita Reuters mencatat sejak 1970-an sebagian besar pemimpin Israel sudah berkunjung ke Amerika Serikat (AS) atau bertemu dengan presiden beberapa pekan setelah menjabat. Hanya dua dari 13 perdana menteri Israel yang harus menunggu lebih lama.
Gedung Putih menolak mengkonfirmasi apakah sudah mengundang Netanyahu atau belum. Juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat merujuk pemerintah Israel mengenai rencana perjalanan perdana menteri. Kedutaan Besar Israel di Washington menolak memberikan komentar.
"Pesan yang ingin mereka sampaikan jelas: Bila anda mengejar kebijakan yang tidak diinginkan, tidak ada hak untuk duduk di Kantor Oval (Ruang Presiden AS)," kata mantan penasihat senior Utusan Khusus Negosiasi Israel-Palestina yang kini peneliti Washington Institute for Near East Policy, David Makovsky, Kamis (16/3/2023).
Sejak awal tahun ini Israel dilanda gelombang unjuk rasa yang memprotes rencana Netanyahu untuk mengekang wewenang Mahkamah Agung. Kritikus mengatakan rencana itu akan menghapus pemeriksaan pada koalisi pemerintah.
Di tengah meningkatnya kekerasan di Tepi Barat, pemerintah sayap kanan Netanyahu mengizinkan pemukiman ilegal. Pejabat-pejabat di kabinet pemerintah Israel juga mengubar pernyataan menghasut yang memicu kritikan dari pemerintah Amerika Serikat termasuk Menteri Pertahanan Lloyd Austin dalam kunjungannya ke Israel pekan lalu.
Amerika Serikat masih pendukung utama Israel. Setiap tahun Washington masih menggelontorkan 3 miliar dolar AS bantuan militer ke Tel Aviv.
Presiden Joe Biden yang sudah mengenal Netanyahu selama puluhan tahun sempat berbicara melalui sambungan telepon. Pejabat dua pemerintah juga sudah saling mengunjungi sejak pemerintah Netanyahu terbentuk Desember lalu, meski krisis politik di Israel terus meningkat.
Namun tidak adanya kunjungan ke Gedung Putih menunjukkan keinginan pemerintah Biden untuk melihat kebijakan di Israel dengan berbeda. Kritikus menilai Biden ragu untuk mengambil langkah yang lebih keras.
Peneliti Carnegie Endowment for International Peace yang pernah bekerja di Departemen Luar Negeri di bidang kebijakan terhadap Israel dan Palestina, Sarah Yerkes mengatakan pernyataan Amerika Serikat pada Israel kerap kali membuat "frustasi." "Sungguh membuat frustasi melihat lemahnya respon AS pada apa pun," kata Yerkes.
"Mereka sudah tidak bisa diperlakukan dengan cara hati-hati seperti yang telah diperlakukan selama ini karena mereka dalam jalur bukan lagi negara demokrasi," katanya.
Seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS mengatakan pemerintah Biden memilih bungkam dalam menanggapi kritik publik. Terutama ketika mengenai krisis akibat rencana perombakan sistem peradilan Israel.
"Apa pun yang akan kami sampai mengenai usulan spesifik berpotensi kontrak produktif," kata pejabat itu. Dia menambahkan tujuan mendorong pemimpin Israel membangun konsensus mengenai reformasi dibandingkan menentukan hasilnya.
Anggota Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS Chris Murphy mengatakan dia berharap pemerintah akan memberikan pesan jelas pada Israel.
"Jelas saya ingin melihat pemerintah memberikan sinyal kuat kami harus mempertahankan dukungan kami pada negara Palestina di masa depan dan keputusan pemerintah Netanyahu sekarang membahayakan masa depan itu," kata Senat dari Partai Demokrat tersebut.
Kelompok 92 anggota parlemen progresif mengirimkan surat ke pemerintah Biden. Dalam surat itu mereka mengatakan rencana Netanyahu merombak sistem peradilan "membahayakan prospek solusi dua negara dan mengancam Israel sebagai negara Yahudi dan demokratis."
Baca juga: Arab Saudi-Iran Sepakat Damai Diprakarsai China, Ini Reaksi Amerika Hingga Negara Arab
Sejak Menteri Luar Negeri, James Baker, menentang aneksasi wilayah Palestina dan perluasan pemukiman ilegal pada 1989 lalu jarang pemimpin Amerika Serikat mengkritik kebijakan Israel.
Baker melarang Netanyahu yang saat itu menjabat wakil menteri luar negeri dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat setelah dia mengkritik kebijakan Amerika Serikat pada Israel.
Biden menggambarkan dirinya sebagai seorang Zionis. Presiden dari Partai Demokrat itu mengatakan dukungan Amerika Serikat pada Israel "sangat kuat."
"Naluri pribadi Biden yang seperti itu sangat sulit baginya untuk mengadopsi sikap tegas ekstrem pada Israel," kata mantan negosiator Amerika Serikat dalam perdamaian Timur Tengah Dennis Rose.
"Dia lebih menyukai mengkotakkan Timur Tengah sehingga bisa fokus pada Rusia, Ukraina dan China. Sayangnya Timur Tengah memiliki cara untuk memaksakan diri, kecuali kami memiliki inisiatif yang cukup untuk mencoba mengelola lingkungan itu," kata Rose yang kini bekerja di Washington Institute for Near East Policy.