REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Selandia Baru mengatakan atas alasan keamanan akan melarang TikTok di perangkat yang mengakses jaringan parlemen. Negeri Kiwi menjadi negara terbaru yang melarang aplikasi berbagi video pendek itu di perangkat pemerintah.
Semakin banyak negara yang khawatir aplikasi asal Cina itu dapat mengakses lokasi dan data kontak pengguna. TikTok dimiliki perusahaan ByteDance yang bermarkas di Cina.
Keresahan ini semakin terlihat pada pekan ini setelah pemerintah Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden meminta pemilik saham TikTok di Cina menarik investasi mereka atau aplikasi itu akan dilarang di AS. Selandia Baru mengatakan larangan TikTok di semua perangkat yang mengakses jaringan parlemen mulai berlaku pada akhir Maret.
Dalam pernyataan tertulisnya Kepala Badan Layanan Parlemen Selandia Baru, Rafael Gonzalez-Montero mengatakan keputusan ini diambil setelah mendapat saran dari pakar keamanan siber. Serta diskusi di pemerintah dan negara lain.
"Berdasarkan informasi, Badan Layanan Parlemen menentapkan resiko itu tidak dapat diterima di lingkungan Parlemen Selandia Baru saat ini," katanya Jumat (17/3/2023).
Ia menambahkan peraturan khusus dapat diberikan pada mereka yang membutuhkan TikTok untuk pekerjaannya. ByteDance belum menanggapi permintaan komentar. Dalam konferensi pers Perdana Menteri Selandia Baru Chris Hipkins mengatakan Selandia Baru beroperasi dengan cara yang berbeda dari negara lain.
"Lembaga-lembaga dan departemen-departemen mengikuti saran (Biro Keamanan Komunikasi Pemerintah) dalam kebijakan IT dan keamanan siber, kami tidak memiliki pendekatan yang mencakup sektor publik," kata Hipkins.
Angkatan Bersenjata dan Kementerian Luar Negeri Selandia Baru mengatakan mereka sudah melarang TikTok di perangkat kerja mereka. "(Langkah ini) pendekatan pencegahan untuk melindungi keamanan dan keselamatan (personel)," kata juru bicara Angkatan Bersenjata Selandia Baru dalam pernyataan tertulisnya.
Pada Kamis (16/3/2023) kemarin Inggris melarang TikTok pada ponsel pemerintah. AS menetapkan akhir Maret sebagai tenggat waktu bagi lembaga-lembaga pemerintah menghapus aplikasi itu dari perangkat kerja mereka.
TikTok mengatakan mereka yakin larangan-larangan pemerintah berdasarkan "kesalahpahaman fundamental" dan didorong masalah geopolitik yang lebih luas. TikTok menambahkan mereka sudah menghabiskan 1,5 miliar dolar AS untuk keamanan data dan menolak tuduhan spionase.