REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Di gedung Capitol Amerika Serikat, Rep Jason Crow menyimpan beberapa kenang-kenangan perang. Berjajar di rak adalah tanda pengenal militernya, sirip ekor mortir bekas, dan pecahan peluru yang dihentikan pelindung tubuhnya.
Dua dekade lalu, Crow adalah pemimpin peleton berusia 24 tahun dalam invasi Amerika ke Irak. Anggota peleton membawa masker gas dan perlengkapan untuk dikenakan di atas seragam mereka demi melindungi diri mereka dari senjata kimia yang diyakini Amerika Serikat, yang kemudian hari keliru, mungkin digunakan pasukan Irak untuk melawan mereka.
Hari ini, Crow duduk di komite yang mengawasi badan militer dan intelijen Amerika Serikat. Kesalahan dalam perang Irak masih segar dalam ingatannya.
“Bukan hiperbola untuk mengatakan bahwa itu adalah pengalaman yang mengubah hidup dan kerangka hidup, melalui yang saya lihat di banyak pekerjaan saya,” kata Demokrat Colorado.
Kegagalan Perang Irak sangat merubah agen mata-mata Amerika dan generasi perwira intelijen dan anggota parlemen. Mereka yang akhirnya membantu mendorong reorganisasi besar-besaran komunitas intelijen Amerika Serikat.
Dimana CIA telah kehilangan peran pengawasannya atas agen mata-mata lainnya, dan reformasi dimaksudkan untuk memungkinkan analis mengevaluasi sumber dengan lebih baik dan menantang kesimpulan untuk kemungkinan adanya bias.
Tetapi pernyataan yang pada akhirnya salah tentang program senjata nuklir, biologi, dan kimia Irak, berulang kali dikutip untuk membangun dukungan untuk perang di Amerika dan luar negeri, itu telah merusak kredibilitas intelijen Amerika Serikat.
Sebanyak 300 ribu warga sipil tewas dalam dua dekade konflik di Irak, menurut perkiraan Universitas Brown. Amerika Serikat kehilangan 4.500 tentara dan menghabiskan sekitar 2 triliun dolar Amerika Serikat, hanya untuk Perang Irak, termasuk kampanye berikutnya di Irak dan Suriah.
Yang mengampanyekan melawan kelompok Negara Islam ekstremis, dimana mereka telah menguasai kedua negara, setelah Amerika Serikat awalnya menarik diri pada 2011 lalu.
Penegasan itu juga menjadikan bahwa senjata pemusnah massal, hanya menjadi slogan yang masih digunakan oleh saingan dan sekutu, termasuk sebelum invasi Rusia ke Ukraina, yang diramalkan dengan benar oleh intelijen Amerika Serikat.
Avril Haines, Direktur Intelijen Nasional Amerika Serikat saat ini, mencatat dalam sebuah pernyataan bahwa komunitas intelijen telah mengadopsi standar baru untuk analisis dan pengawasan.
Baca juga: Arab Saudi-Iran Sepakat Damai Diprakarsai China, Ini Reaksi Amerika Hingga Negara Arab
“Kami mendapat pelajaran penting setelah penilaian kami yang cacat terhadap program senjata pemusnah masal aktif di Irak pada 2002,” kata Haines.
“Sejak saat itu, misalnya, kami telah memperluas penggunaan teknik analitik terstruktur, menetapkan standar analitik di seluruh komunitas, dan meningkatkan pengawasan perdagangan. Seperti di setiap bagian dari pekerjaan kami, kami berusaha untuk mempelajari pelajaran yang memungkinkan kami untuk melestarikan dan memajukan pemikiran kami untuk memberikan efek yang lebih besar demi keamanan nasional kami.”
Hanya 18 persen orang dewasa Amerika Serikat yang mengatakan bahwa mereka sangat percaya pada badan intelijen pemerintah, menurut jajak pendapat terbaru dari The Associated Press-NORC Center for Public Affairs Research. Kemudian 49 persen mengatakan mereka memiliki sedikit kepercayaan diri dan 31 persen hampir tidak percaya diri.
Tak lama setelah serangan teroris 11 September 2001, Presiden George W Bush memerintahkan invasi ke Afghanistan, tempat Taliban yang berkuasa melindungi pemimpin Alqaeda, Osama bin Laden dan mengizinkan kelompok itu menjalankan kamp pelatihan.