REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING – Menteri Luar Negeri (Menlu) Selandia Baru Nanaia Mahuta telah melakukan pertemuan dengan Menlu Cina Qin Gang di Beijing, Sabtu (25/3/2023). Pada kesempatan itu, Nanaia menyampaikan keprihatinannya atas situasi di Laut Cina Selatan dan Selat Taiwan.
“Nanaia Mahuta menyatakan keprihatinan atas perkembangan di Laut Cina Selatan dan meningkatnya ketegangan di Selat Taiwan,” kata Kementerian Luar Negeri Selandia Baru dalam sebuah pernyataan.
Selain itu, Nanaia turut menyampaikan keprihatinan mendalam Selandia Baru terkait situasi hak asasi manusia di Xinjiang serta terkikisnya hak dan kebebasan di Hong Kong. Saat bertemu Qin Gang, dia pun mengulangi kecaman Selandia Baru atas invasi Rusia ke Ukraina,
Nanaia kemudian mengundang Qin untuk mengunjungi Selandia Baru. Dia pun menandai potensi kunjungan Perdana Menteri Selandia Baru Chris Hipkins ke Beijing yang mungkin dilaksanakan tahun ini.
Nanaia melakukan kunjungan empat hari di Cina dan tiba di pada Rabu (22/3/2023) lalu. Selain Qin Gang, Nanaia sempat pula bertemu Direktur Kantor Urusan Luar Negeri Pusat Partai Komunis Cina Wang Yi. Saat melakukan pembicaraan dengan Nanaia, Wang menyampaikan bahwa Cina dan Selandia Baru selalu menghormati serta mempercayai satu sama lain.
Selandia Baru secara konsisten menyatakan keprihatinan tentang potensi militerisasi Pasifik, di tengah pembangunan militer Cina di Laut China Selatan. Cina diketahui mengklaim sebagian besar Laut Cina Selatan sebagai teritorialnya. Klaim itu ditentang sejumlah negara ASEAN yang wilayahnya turut mencakup perairan tersebut, seperti Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Wilayah Laut Natuna Utara Indonesia juga bersinggungan langsung dengan klaim Cina di Laut Cina Selatan.
Tahun lalu, Komandan Indo-Pasifik Amerika Serikat (AS) Laksamana John C Aquilino mengatakan, Cina telah sepenuhnya memiliterisasi setidaknya tiga dari beberapa pulau reklamasi yang dibangunnya di Laut Cina Selatan. Beijing menempatkan sistem rudal anti-kapal dan anti-pesawat, peralatan laser, serta jet tempur di pulau-pulau tersebut.
“Selama 20 tahun terakhir kami telah menyaksikan pembangunan militer terbesar sejak perang dunia kedua oleh Cina. Mereka telah meningkatkan semua kemampuan mereka dan penumpukan persenjataan itu membuat wilayah tersebut tidak stabil,” kata Aquilino saat diwawancara Associated Press pada Maret 2022.
Kala itu Aquilino mengungkapkan, pembangunan persenjataan rudal, hanggar pesawat, sistem radar, dan fasilitas militer lainnya di Mischief Reef, Subi Reef dan Fiery Cross tampaknya telah selesai. Namun masih harus dilihat apakah Cina akan melanjutkan pembangunan infrastruktur militer di daerah lain.
“Fungsi pulau-pulau tersebut adalah untuk memperluas kemampuan ofensif Cina di luar pantai kontinental mereka. Mereka bisa menerbangkan pesawat tempur, pembom plus semua kemampuan ofensif dari sistem rudal,” ucap Aquilino.