Sabtu 01 Apr 2023 09:15 WIB

Jepang Luncurkan Strategi untuk Dongkrak Angka Kelahiran

Banyak anak muda Jepang menolak menikah atau memiliki keluarga.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Teguh Firmansyah
Kehidupan warga Jepang (ilustrasi).
Foto: EPA-EFE/KIMIMASA MAYAMA
Kehidupan warga Jepang (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Jepang pada Jumat (31/3/2023) meluncurkan rancangan proposal yang bertujuan untuk membalikkan tren penurunan angka kelahiran, termasuk peningkatan subsidi untuk pengasuhan anak dan pendidikan. Proposal tersebut juga mencakup kenaikan gaji bagi pekerja yang lebih muda untuk memberi insentif menikah dan memiliki anak.

Populasi Jepang yang berjumlah lebih dari 125 juta telah menurun selama 15 tahun dan diproyeksikan turun menjadi 86,7 juta pada 2060. Populasi yang menyusut dan menua memiliki implikasi besar bagi ekonomi dan keamanan nasional.

Baca Juga

Menteri Kebijakan Anak, Masanobu Ogura mengatakan, beberapa tahun ke depan mungkin merupakan kesempatan terakhir bagi Jepang untuk membalikkan penurunan angka kelahiran. Jika jumlah kelahiran terus menurun pada tingkat sejak awal tahun 2000, populasi muda akan menyusut dua kali lipat dari saat ini dan dapat turun dengan cepat pada tahun 2030-an.

Banyak anak muda Jepang menolak menikah atau memiliki keluarga, karena prospek pekerjaan yang suram, budaya perusahaan yang tidak sesuai dengan kedua orang tua, terutama wanita bekerja, dan kurangnya toleransi publik untuk anak kecil.

Untuk mengatasi masalah tersebut, rencana Ogura mengusulkan peningkatan bantuan keuangan, termasuk lebih banyak subsidi pemerintah untuk mengasuh anak, lebih banyak pinjaman siswa untuk pendidikan tinggi dan akses yang lebih besar ke layanan pengasuhan anak.

Proposal ini juga bertujuan untuk mengubah pola pikir budaya menuju kesetaraan gender  di tempat kerja maupun di rumah. Proposal tersebut juga mencakup peningkatan bantuan pemerintah kepada perusahaan untuk mendorong lebih banyak staf laki-laki mengambil cuti melahirkan.

“Sementara perbedaan pandangan tentang pernikahan, melahirkan, dan mengasuh anak harus dihormati, kami ingin membuat masyarakat di mana generasi muda dapat menikah, memiliki, dan membesarkan anak sesuai keinginan mereka,” kata Ogura.  

“Arah dasar dari langkah-langkah kami untuk mengatasi kelahiran rendah adalah membalikkan tren penurunan kelahiran dengan mendukung pengejaran kebahagiaan individu," tambah Ogura.

Ogura mengatakan, dia telah mengajukan proposal tersebut kepada Perdana Menteri Fumio Kishida untuk dipertimbangkan lebih lanjut. Proposal ini akan menjadi bagian dari paket kebijakan yang lebih besar, yang akan disusun oleh pemerintah Kishida pada Juni mendatang.

Pada 2022, Jepang memiliki 799.728 bayi baru lahir. Ini merupakan rekor terendah. Angka kelahiran bayi di Jepang turun di bawah 800.000 untuk pertama kalinya sejak survei dimulai pada 1899. Banyak pasangan ragu untuk menambah anak mereka karena biaya yang meningkat.

Jepang adalah ekonomi terbesar ketiga di dunia dengan biaya hidup tinggi, kenaikan upah lambat, dan sekitar 40 persen orang Jepang adalah pekerja paruh waktu atau pekerja kontrak.  Kritikus mengatakan, pemerintah telah tertinggal dalam membuat masyarakat lebih inklusif untuk anak-anak, perempuan dan minoritas.

Di bawah partai pemerintahan konservatif, yang mendukung nilai-nilai keluarga tradisional dan peran gender, perempuan yang belum menikah atau tanpa anak cenderung kurang dihormati.

Sejauh ini, upaya pemerintah untuk mendorong masyarakat untuk memiliki lebih banyak anak berdampak terbatas, kendati ada subsidi untuk kehamilan, persalinan, dan pengasuhan anak. Situasi ini menghambat pengejaran karir perempuan setelah menikah atau setelah memiliki anak.

Mayoritas orang Jepang yang berusia antara 18 tahun dan 34 tahun mengatakan, mereka ada keinginan untuk menikah tetapi berencana hanya memiliki kurang dari dua anak.  Semakin banyak persentase mengatakan, mereka tidak berniat menikah.

 

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement