REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Organisasi Maritim Internasional (IMO) mengadopsi pedoman penanganan penelantaran pelaut (Guidelines for Port State and Flag State on How to Deal with Seafarer Abandonment Cases) yang sudah diinisiasi Indonesia sejak 2020 bersama Cina dan Filipina. Hal tersebut berlangsung pada Sidang 110th Legal Committee di Markas Besar IMO di London, Inggris.
Duta Besar RI untuk Inggris yang juga merupakan Wakil Tetap RI di IMO, Desra Percaya, menyampaikan apresiasi atas dukungan seluruh negara anggota IMO terhadap adopsi pedoman tersebut. "Sebagai salah satu negara penyumbang pelaut terbesar di dunia, Indonesia memiliki kepentingan besar dalam isu pelindungan pelaut," kata Desra dalam keterangan di Jakarta, Sabtu (1/4/2023).
Berdasarkan data bersama IMO dan Organisasi Buruh Internasional (ILO), selama beberapa tahun terakhir terdapat sejumlah pelaut Indonesia yang bekerja pada kapal-kapal niaga di berbagai pelabuhan di dunia memerlukan perhatian khusus dari Pemerintah.
Inisiatif pembentukan pedoman penanganan kasus penelantaran merupakan salah satu bukti komitmen pemerintah Indonesia dalam upaya peningkatan kualitas perlindungan bagi pelaut Indonesia di luar negeri.
"Pelaut Indonesia tidak hanya bekerja pada kapal-kapal penangkap ikan, namun juga kapal-kapal niaga dan kapal pesiar di luar negeri. Pada masa pandemi Covid-19, KBRI London menangani sejumlah kasus pelaut Indonesia yang memerlukan perhatian khusus," katanya.
Proses penyelesaian kasus membutuhkan waktu panjang dan upaya kolektif berbagai pihak. Belajar dari pengalaman tersebut, pedoman ini dapat menjadi acuan bersama bagi para pemangku kepentingan untuk mempercepat proses penyelesaian kasus-kasus penelantaran pelaut.
Kepala Bagian Hukum dan Kerjasama Luar Negeri (KSLN) Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Nurdiansyah yang hadir sebagai delegasi Indonesia mengatakan terkait dengan inisiasi Indonesia terhadap pedoman yang diadopsi IMO pada sidang IMO LEG tersebut, merupakan bentuk konkret dan peran aktif Indonesia sebagai anggota Dewan IMO Kategori C dalam memperjuangkan kepentingan Indonesia di dunia maritim internasional.
"Bukan hal yang mudah tentunya untuk menginisiasi pedoman di IMO yang beranggotakan banyak negara maritim tersebut," ungkapnya
Namun demikian, ia menambahkan bahwa hal tersebut tidak mematahkan semangat Indonesia untuk tetap memperjuangkan kepentingannya di dunia internasional. "Upaya Indonesia tersebut sejalan dengan semangat pemerintah Indonesia untuk menjadi poros maritim dunia," jelasnya.
Nurdiansyah menjelaskan bahwa usai adopsi pedoman itu, negara-negara anggota perlu menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) nasional. Selain itu, perlu menjabarkan detail teknis tanggung jawab dan kewajiban otoritas terkait, serta peran masing-masing pemangku kepentingan.
"Pada kesempatan ini, pemerintah Indonesia perlu menetapkan Kementerian/Lembaga yang akan menjadi koordinator dalam penyusunan SOP tersebut di tingkat nasional dan dalam penyusunan SOP perlu melibatkan pemangku kepentingan di dalam negeri, antara lain asosiasi pemilik kapal, serikat pekerja, dan industri layanan perekrutan dan penempatan pelaut," tutup Nurdiansyah.
Sidang IMO LEG berurusan dengan masalah hukum apa pun dalam ruang lingkup IMO. Ini termasuk masalah pertanggungjawaban dan kompensasi yang terkait dengan pengoperasian kapal, termasuk kerusakan, polusi, klaim penumpang, dan pemindahan bangkai kapal.
Sidang IMO LEG juga membahas isu pelaut, termasuk perlakuan yang adil terhadap pelaut, dan isu terkait kegiatan yang melanggar hukum di laut yang dapat mempengaruhi keselamatan bernavigasi.
Sidang IMO LEG ke-110 dibuka oleh Sekretaris Jenderal IMO (Sekjen IMO), Kitack Lim berlangsung pada tanggal 27-31 Maret 2023 di Markas Besar IMO di London. Delegasi RI yang hadir pada Sidang IMO LEG terdiri dari perwakilan Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perhubungan cq Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, serta KBRI London.