REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim mengatakan, Malaysia siap bernegosiasi dengan Cina untuk menyelesaikan persengketaan klaim mereka di Laut Cina Selatan. Hal itu disampaikan Anwar ketika bertemu Presiden Cina Xi Jinping pada Jumat (31/3/2023) pekan lalu.
“Cina juga mempertaruhkan klaim atas wilayah tersebut (Laut Cina Selatan). Saya katakan sebagai negara kecil yang membutuhkan sumber daya minyak dan gas, kita harus melanjutkan, tetapi jika syaratnya harus ada negosiasi, maka kita siap untuk bernegosiasi,” kata Anwar ketika bertemu Xi, dilaporkan kantor berita Malaysia, Bernama, Senin (3/4/2023).
Bernama tidak menjelaskan sengketa mana atau wilayah mana di Laut Cina Selatan yang dimaksud Anwar dalam pernyataannya. Sementara itu, dilaporkan laman China Global Television Network (CGTN), ketika bertemu Anwar, Xi mendorong kedua negara agar mempromosikan kerja sama serta pembangunan di berbagai bidang.
Tahun ini menandai peringatan 10 tahun kemitraan strategis komprehensif Cina-Malaysia. Sementara tahun depan, kedua negara akan memperingati 50 tahun terbangunnya hubungan diplomatik.
Terkait isu Laut Cina Selatan, Perdana Menteri Cina Li Qiang mengatakan, negaranya siap bekerja sama dengan negara-negara Asia Tenggara untuk mempercepat konsultasi kode tata perilaku atau Code of Conduct (CoC) di wilayah perairan tersebut. Hal itu disampaikan ketika dia menerima kunjungan Anwar Ibrahim, Sabtu (1/4/2023) pekan lalu.
“Asia adalah rumah kita bersama dan kerja sama yang saling menguntungkan adalah satu-satunya pilihan yang tepat,” kata Li, dilaporkan kantor berita Cina, Xinhua.
Kepada Anwar Ibrahim, Li turut menyampaikan, Cina siap bekerja sama dengan Malaysia dan negara Asia Tenggara lainnya untuk secara aktif memajukan negosiasi ASEAN-China Free Trade Area serta bersama-sama mengimplementasikan Regional Comprehensive Economic Partnership.
Terkait Laut Cina Selatan, Cina diketahui mengklaim sekitar 80 persen dari wilayah perairan strategis itu sebagai bagian dari teritorialnya. Klaim Beijing ditentang oleh sejumlah negara Asia Tenggara, antara lain Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Indonesia.
Untuk menangani perselisihan klaim di Laut Cina Selatan, ASEAN dan Cina menandatangani Declaration of Conduct (DoC) di Kamboja pada November 2002. Deklarasi itu memuat komitmen China dan negara-negara ASEAN untuk mematuhi prinsip-prinsip hukum internasional, menyelesaikan sengketa secara damai, dan menahan diri dari tindakan yang dapat meningkatkan eskalasi.
Kemudian pada 2011 Cina dan ASEAN kembali berhasil menyepakati Guideline for the Implementation of the DoC. Kesepakatan tersebut menandai dimulainya pembahasan awal mengenai pembentukan CoC atau kode etik di Laut Cina Selatan. Fungsinya adalah menghadirkan seperangkat mekanisme atau peraturan tata perilaku untuk negara-negara yang berkepentingan di Laut Cina Selatan. Dengan demikian, potensi pecahnya konflik akibat tumpang tindih klaim dapat diredam.