Selasa 04 Apr 2023 06:15 WIB

Situasi Masyarakat Uighur di Xinjiang Semakin Buruk?

Cina ingin memaksakan asimilasi dengan membuang Islam dari Uighur

Rep: Lintar Satria/ Red: Esthi Maharani
Sejumlah jurnalis asing memotret gedung perkantoran terpadu milik Pemerintah Kota Turban, Daerah Otonomi Xinjiang, China, Jumat (23/4/2021). Pemerintah China membantah klaim asing berdasarkan citra satelit yang menyebutkan  bahwa gedung tersebut merupakan penjara bagi warga dari kelompok etnis minoritas Muslim Uighur.
Foto: ANTARA/M. Irfan Ilmie
Sejumlah jurnalis asing memotret gedung perkantoran terpadu milik Pemerintah Kota Turban, Daerah Otonomi Xinjiang, China, Jumat (23/4/2021). Pemerintah China membantah klaim asing berdasarkan citra satelit yang menyebutkan bahwa gedung tersebut merupakan penjara bagi warga dari kelompok etnis minoritas Muslim Uighur.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Center for Uyghur Studies Abdul Hakim Idris mengatakan masyarakat Uighur di Cina tidak bisa menjalankan ibadah puasa, sholat, membaca Alquran di rumah sendiri dan tidak bisa mengaku sebagai muslim di publik. Idris mengatakan situasi di Turkistan atau yang di Cina disebut Xinjiang, semakin memburuk.

"Harus dimengerti, represi pemerintah Cina semakin memburuk. Islam melindungi kami dari asimilasi," kata Idris di acara International Seminar: Indonesian Humanitarian Responses on Uyghur, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Senin (3/4/2023).  

Idris mengatakan pemerintah Cina ingin memaksakan asimilasi dengan membuang Islam dari Uighur sehingga Beijing menggeneralisasi semua aktivitas Islam seperti memakai hijab, memiliki janggut, menyimpan surat Alquran atau hadist di ponsel, atau memiliki buku Islam di rumah sebagai tindakan kriminal.

Idris mengatakan pemerintah Cina mengumpulkan Alquran dan membakarnya, mereka menghancurkan mushola dan masjid, dan memaksa masyarakat Uighur mengatakan "saya bukan muslim, saya diracuni pikiran yang salah, saya akan memberikan kesetiaan pada Partai Komunis." Menurutnya masalah Uighur tidak hanya masalah kemanusiaan.

"Ini genosida, ini masalah Islam, mereka ingin menjauhkan agama dari kami, jadi bila kami hidup seperti masyarakat Han, tidak percaya pada Allah, bukan muslim, mungkin mereka akan membiarkan kami hidup, seperti itu situasinya," kata Idris.

Idris menambahkan perempuan masyarakat Uighur yang dibawa ke kamp konsentrasi dipaksa melakukan sterilisasi. Perempuan muslim juga dipaksa untuk menikahi pria etnis Han yang ateis. Ia mengatakan pernikahan beda latar belakang ini tidak sesuai dengan kepercayaan muslim Uighur.

"Kami percaya orang Islam tidak bisa menikahi ahli kitab seperti orang Kristen atau Yahudi, hari ini banyak yang paksa menikahi etnis Han yang ateis, bila mereka tidak melakukannya keluarga mereka akan dibawa ke kamp konsentrasi," kata Idris.

Selain itu, kata Idris, anak-anak Uighur dipisahkan dari orang tua mereka. Saat ini lebih dari satu juta anak-anak dibesarkan di panti asuhan dengan bahasa dan identitas yang berbeda.

Pemerintah Cina, tambah Idris, juga menerapkan pengawasan digital yang tidak bisa ditembus. Pemerintah Cina mengumpulkan data suara, DNA, dan wajah. Jika diblokir masyarakat Uighur tidak bisa berkomunikasi dengan siapa pun.  

Idris mengatakan lebih dari sembilan negara mengakui kebijakan pemerintah Cina pada masyarakat Uighur sebagai genosida. Ia menambahkan pemerintah Cina mengambil dua hal dari masyarakat Uighur yakni kekayaan dan pemimpin atau tokoh masyarakat.

"Mereka mengambil kekayaan, mereka mengambil tanah, uang, perusahaan, dan mereka mengambil tokoh masyarakat, cendikiawan, akademisi, penulis, bahkan komedian, bahkan olahragawan dan kemudian mengincar seluruh populasi," katanya.

Saat ini, kata Idris, pemerintah Cina mencatat 12 juta populasi masyarakat Uighur. Tapi karena Beijing hanya mengakui dua anak setiap keluarga jadi angka sebenarnya jauh lebih banyak. Idris memperkirakan saat ini ada sekitar 25 juta masyarakat Uighur di Cina.

"Jadi apa yang mereka lakukan, mereka menghancurkan generasi muslim, mereka membiarkan orang hidup dengan tenang yang mengatakan "baik  saya keluar dari agama saya, saya komunis sejati, saya percaya pada komunisme, saya berbicara bahasa Cina, bahkan berpakaian Cina" mereka biarkan mereka," kata Idris.

Idris menyamakan pengalaman masyarakat Uighur dengan masyarakat muslim di masa Andalusia akhir. Ketika muslim Andalusia dipaksa masuk Katolik atau akan dibunuh. Kemudian generasi berikutnya yang memilih Katolik tumbuh sebagai orang Katolik.

"Situasi yang sama di Turkistan, mereka memotong generasi, menyingkirkan cendikiawan, ulama, buku-buku, cerita-cerita, bahkan cerita-cerita budaya kami, identitas kami, mereka melarang bahasa kami," tambah Idris.

Mantan Duta Besar Indonesia untuk Uzbekistan Mohamad Asruchin menyimpulkan tiga alasan pemerintah Cina sangat keras pada masyarakat Uighur. Pertama karena jalur sutra di mana Xinjiang termasuk di dalamnya, sudah sangat identik dengan Cina sehingga Beijing tidak ingin kehilangan wilayah penyangga atau penghubung ke Timur Tengah dan Eropa.

"Kedua, Xinjiang memiliki sumber daya alam yang sangat besar terutama, gas dan minyak, yang ketiga klaim Cina terhadap Aksai Chin Region, Aksai Chin Region adalah wilayah yang dipersengketakan dengan India," kata Asruchin di acara yang sama.

"Cina menduduki Aksai Chin yang 38 ribu persegi yang dianggap wilayah Cina tapi diduduki paksa oleh Cina sejak 1950, sebaliknya Cina juga menuduh India menduduki wilayahnya yang disebutkan Arunachal Pradesh yang seluas 90 ribu kilometer," kata Asruchin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement