REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Militer Sudan memperingatkan pada hari Kamis (13/4/2023), tentang potensi bentrokan dengan pasukan paramiliter yang kuat di negara itu. Pemerintah Sudan, yang katanya telah mengerahkan pasukan paramiliter di ibukota Khartoum dan daerah lain tanpa persetujuan tentara.
Ketegangan antara militer dan paramiliter, yang dikenal sebagai Pasukan Pendukung Cepat atau RSF, telah meningkat dalam beberapa bulan terakhir. Kondisi itu memaksa penundaan penandatanganan kesepakatan yang didukung internasional dengan partai-partai politik untuk menghidupkan kembali transisi demokrasi di negara itu.
Dalam sebuah pernyataan, militer mengatakan bahwa pembentukan RSF di Khartoum dan di tempat lain di negara itu dilakukan tanpa persetujuan atau koordinasi dengan pimpinan angkatan bersenjata dan merupakan pelanggaran hukum yang jelas.
Paramiliter baru-baru ini mengerahkan pasukannya di dekat kota Merowe, Sudan utara. Selain itu, video yang beredar di media sosial pada hari Kamis menunjukkan apa yang tampak seperti kendaraan bersenjata RSF yang diangkut ke Khartoum, lebih jauh ke selatan.
Ketegangan terbaru antara tentara dan paramiliter berasal dari ketidaksepakatan tentang bagaimana RSF harus diintegrasikan ke dalam militer dan otoritas apa yang harus mengawasi proses tersebut. Penggabungan ini merupakan syarat utama dari perjanjian transisi Sudan yang belum ditandatangani.
Persaingan antara tentara dan RSF sudah ada sejak masa pemerintahan otokratis Presiden Omar al-Bashir, yang digulingkan pada tahun 2019. Di bawah Presiden Sudan al-Bashir, pasukan paramiliter, yang dipimpin oleh Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo yang kuat, tumbuh dari mantan milisi yang dikenal sebagai Janjaweed yang melakukan penumpasan brutal di wilayah Darfur, Sudan, selama beberapa dekade konflik di sana.
Meskipun tentara dan RSF bersama-sama melakukan kudeta pada Oktober 2021 yang menjungkirbalikkan transisi Sudan menuju demokrasi. Gesekan di antara mereka semakin terlihat dalam beberapa bulan terakhir, dengan pernyataan publik yang saling bertentangan, kehadiran militer yang besar di Khartoum, dan perjalanan ke luar negeri yang dilakukan secara paralel oleh para pemimpin militer dan RSF.
RSF mengatakan pada hari Rabu bahwa kehadirannya di Sudan utara dan di tempat lain bertujuan untuk mencapai keamanan dan stabilitas serta memerangi perdagangan manusia dan migrasi ilegal. Pasukan paramiliter yang kaya raya ini diperkirakan memiliki puluhan ribu pejuang.
Menurut Kholood Khair, pendiri dan direktur Confluence Advisory, sebuah wadah pemikir di Khartoum, ketegangan antara tentara dan RSF berada pada titik tertinggi sepanjang masa. Dan pernyataan militer pada hari Kamis tidak cukup untuk menuduh RSF melakukan tindakan pemberontakan."
Eskalasi ini telah menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya pertempuran baru di negara yang terkenal dengan konflik bersenjata internal. Banyak yang menggunakan media sosial untuk mengekspresikan keprihatinan mereka.
Partai Umma Nasional Sudan - salah satu kelompok politik terbesar di negara itu - menyerukan untuk menahan diri dan mendesak semua kekuatan politik untuk tidak meningkatkan situasi. Partai ini juga mengadakan pertemuan darurat pada Kamis pagi dengan perwakilan militer dan RSF serta tokoh-tokoh politik senior. Tidak ada rincian yang segera muncul setelah pertemuan tersebut.
Sebuah pernyataan bersama pada hari Kamis oleh para utusan ke Sudan dari Perancis, Jerman, Norwegia, Inggris, Amerika Serikat dan Uni Eropa mengatakan bahwa mereka sangat prihatin dengan eskalasi yang terjadi baru-baru ini. Pernyataan tersebut meminta militer dan RSF untuk menyelesaikan masalah-masalah yang belum terselesaikan terkait keamanan dan membentuk militer yang bersatu dan profesional yang bertanggung jawab kepada pemerintah sipil.
Menanggapi eskalasi tersebut, Kedutaan Besar AS di Khartoum pada hari Kamis menyarankan warga negara AS untuk tidak melakukan perjalanan ke Sudan utara. Selain itu, staf pemerintah AS juga dilarang bepergian ke luar wilayah metropolitan ibu kota hingga Kamis depan, kata kedutaan.
Kudeta tahun 2021 menyingkirkan pemerintahan yang didukung Barat, dan memupuskan aspirasi Sudan untuk pemerintahan demokratis setelah tiga dekade otokrasi dan penindasan di bawah al-Bashir.
Pemberontakan rakyat selama berbulan-bulan memaksa militer menggulingkan al-Bashir pada April 2019. Sejak saat itu, mantan presiden yang menjadi buronan Mahkamah Pidana Internasional atas tuduhan kejahatan perang dan genosida dalam konflik Darfur ini dipenjara di Khartoum.