Sabtu 15 Apr 2023 05:35 WIB

Perubahan Iklim Memperparah Kekeringan Kilat

Kekeringan tiba-tiba atau "kekeringan kilat" mematikan tanaman lebih banyak

Rep: Lintar Satria/ Red: Esthi Maharani
Penelitian terbaru menemukan perubahan iklim mempercepat dan memperparah kekeringan.
Foto: AP /Ben Curtis
Penelitian terbaru menemukan perubahan iklim mempercepat dan memperparah kekeringan.

REPUBLIKA.CO.ID, LOS ANGELES -- Penelitian terbaru menemukan perubahan iklim mempercepat dan memperparah kekeringan. Terutama kekeringan yang berkembang cepat dan didorong gelombang panas. Kekeringan jenis ini kerap mengejutkan petani.

Penelitian yang dirilis jurnal Science menemukan secara umum kekeringan lebih cepat terpicu. Namun penelitian juga menemukan kekeringan tiba-tiba yang pakar sebut "kekeringan kilat" mematikan tanaman lebih banyak.

Pakar hidrologi dan meteorologi mengatakan kekeringan ini hanya datang di musim tanam yang biasanya di musim panas tapi juga di musim semi dan gugur. Kerusakannya tidak hanya mengakibatkan kurangnya curah hujan atau salju tapi kekeringan yang lambat mereda.

Apa yang terjadi adalah udara menjadi sangat panas dan kering sehingga menyedot air langsung dari tanaman dan tanah.

"Ini meningkatkan kehausan atmosfer," kata peneliti iklim dari National Center for Atmospheric Research dan UCLA Daniel Swan, Kamis (13/4/2023). Menurutnya masalah ini sangat relevan dengan perubahan iklim.

Penelitian terbaru mengatakan istilah kekeringan kilat muncul sekitar tahun 200 tapi kemudian menjadi populer pada tahun 2012. Ketika kekeringan yang melanda Amerika Serikat (AS) menimbulkan kerugian hingga 30 miliar dolar AS, salah satu kekeringan terburuk sejak kekeringan Dust Bowl yang menghancurkan Dataran Tinggi AS pada tahun 1930-an.

"Karena terjadi dengan sangat, sangat cepat, masyarakat mulai fokus pada fenomena ini, dalam kekeringan tahun 2021, sebenarnya kekeringan berkembang menjadi sangat buruk dalam waktu satu bulan," kata ketua penulis penelitian itu Xian Yuan, Dekan Sumber Daya Air dan Hidrologi, Nanjing University of Information Science and Technology, di Cina.

Ia mengatakan sebagian besar cekungan Sungai Yangtze, Cina, musim panas lalu dilanda kekeringan kilat yang berkembang dalam waktu satu bulan karena tingginya suhu udara yang juga memicu kebakaran hutan. Yuan menambahkan saat itu sungai menjadi kering dan selatan Cina mengalami pemadaman listrik karena pembangkit listrik tenaga air tidak berfungsi.

"Itu berkembang dengan sangat cepat sehingga ada tidak memiliki waktu yang tepat untuk bersiap menghadapi kekeringan ini," katanya.

Salah satu penulis penelitian itu dan ilmuwan atmosfer di University of Wisconsin, Jason Otkin mengatakan kekeringan cepat lainnya melanda AS pada tahun 2016 dan menjadi faktor kebakaran hutan besar di  Gatlinburg, Tennessee.

Pakar ilmu iklim dari National Oceanic and Atmospheric Administration’s National Integrated Drought Information System Joel Lisonbee mengatakan kekeringan yang menjulur di Oklahoma-Texas dan Kansas dimulai dua tahun lalu termasuk kekeringan kilat. Ia tidak ambil bagian dalam penelitian ini tapi memujinya.

"Semakin panasnya bumi membuat kekeringan cepat menjadi lebih cepat," katanya.

Yuan, Otkin dan tim peneliti mereka meninjau ke belakang, seberapa cepat kekeringan kilat terjadi dan seperti apa bentuknya, di seluruh dunia, sejak 1951. Mereka menemukan kekeringan kilat lebih sering terjadi di tiga perempat wilayah iklim di dunia. Mereka juga menemukan berbagai bentuk kekeringan terjadi lebih cepat.

Meski tidak dapat mengkualifikasi seberapa cepat karena berbeda-beda di setiap tempat dan waktu. Yuan mengatakan akan lebih tepat bila mengatakan kekeringan terjadi beberapa pekan lebih cepat dari yang pernah terjadi sebelumnya.

Yuan mengatakan kekeringan kilat meningkat cukup besar di Eropa dan Australia. Pakar juga mengatakan Amazon rentan pada kekeringan kilat.

"Kita harus lebih memperhatikan fenomena ini karena meningkat," kata Yuan.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement