REPUBLIKA.CO.ID, SURGUJA -- Seorang pemuda India, Poonam Gond menggambarkan bagaimana rendahnya kualitas layanan medis di India. Ia menilai kondisi sakitnya dengan angka. Nol berarti tidak ada rasa sakit dan 10 adalah kondisi sangat menderita.
Gond berada di angka tujuh akhir bulan lalu. "Kini saya tidak pernah mengenal rasa sakit nol," katanya, sambil duduk di kursi plastik di mana ia menghabiskan sebagian besar hari-harinya. Padahal remaja berusia 19 tahun ini menderita penyakit kelainan sel darah, kelainan darah genetik. Obatnya habis beberapa minggu yang lalu.
Pekerja sosial Gond, Geeta Aayam, mengangguk-angguk sambil sibuk memeriksa Gond. Dia memiliki penyakit yang sama - tetapi, dengan perawatan yang lebih baik, menjalani kehidupan yang sangat berbeda.
Ratusan juta penduduk pedesaan India berjuang untuk mendapatkan perawatan karena alasan yang sederhana, yakni negara ini tidak memiliki fasilitas medis yang cukup. Populasi India telah meningkat empat kali lipat sejak kemerdekaannya pada tahun 1947, tapi hingga kini sistem medis sudah sangat rapuh.
Di daerah pedesaan yang luas di negara ini, pusat-pusat kesehatan jarang ditemukan, kekurangan tenaga medis dan terkadang sering terjadi kehabisan obat-obatan penting. Bagi ratusan juta orang, perawatan kesehatan dasar berarti perjalanan yang menakutkan ke rumah sakit yang dikelola pemerintah yang jauh.
Ketidaksetaraan seperti ini tidak hanya terjadi di India, tetapi besarnya jumlah penduduk India, yang segera menyalip Cina, menjadikannya negara dengan populasi terbesar di dunia. Kondisi ini pun akan semakin memperluas kesenjangan layanan medis ini.
Faktor-faktor mulai dari identitas hingga pendapatan memiliki efek berjenjang pada layanan kesehatan, dan tidak jarak sering kali menjadi penyebab ketidaksetaraan.
Artinya bagi orang-orang dengan masalah kronis seperti penyakit kelainan sel darah adalah perbedaan kecil dalam keberuntungan dapat mengubah hidup. Penyakit kelaianan sel darah yang dialami, Gond terlambat didiagnosis, dan ia sering tidak memiliki akses ke obat-obatan yang dapat mengendalikan penyakitnya dan mengurangi rasa sakitnya.
Karena rasa sakitnya, ia tidak dapat bekerja, dan hal ini semakin mengurangi aksesnya untuk mendapatkan perawatan. Seperti Gond, Aayam lahir dari keluarga petani pedesaan di negara bagian Chhattisgarh, India tengah.
Sebelum rasa sakitnya dimulai, Aayam sempat menyelesaikan studinya dan mulai bekerja untuk lembaga nirlaba kesehatan masyarakat Sangwari di kota. Lebih lama sekolah dan bekerja bersama para dokter, ia didiagnosis dengan segera dan cepat menerima perawatan.
Hal ini memungkinkannya untuk mengendalikan penyakitnya, mempertahankan pekerjaannya dan mendapatkan perawatan yang konsisten. Namun secara umum sistem kesehatan pedesaan India telah melemah akibat pengabaian dalam beberapa dekade terakhir, dan ketika para pekerja kesehatan tertarik pada pekerjaan dengan gaji yang lebih baik di kota-kota besar.
India hanya menghabiskan 3,01 persen dari produk domestik brutonya untuk kesehatan pada tahun 2019, lebih rendah dari Cina sebesar 5,3 persen dan bahkan negara tetangganya, Nepal, sebesar 4,45 persen, menurut Bank Dunia.
Di Chhattisgarh, yang merupakan salah satu negara bagian termiskin di India dan juga memiliki populasi penduduk warga asli pedesaan yang cukup besar, terdapat sekitar satu dokter untuk setiap 16,000 orang. Sebagai perbandingan, ibu kota New Delhi memiliki satu dokter untuk setiap 300 orang.
"Orang-orang miskin mendapatkan perawatan kesehatan yang buruk,\" kata Yogesh Jain, seorang spesialis kesehatan masyarakat di Sangwari, yang mempromosikan akses perawatan kesehatan di daerah pedesaan India.
Gond, 19 tahun, melihat hidupnya keluar dari jalur yang seharusnya. Ibunya meninggal karena penyakit kelainan sel darah saat ia berusia 6 tahun, dan wanita muda ini putus sekolah pada usia 14 tahun untuk membantu di rumah. Dia membutuhkan transfusi darah yang sering untuk mengatasi penyakitnya, yang memaksanya untuk melakukan perjalanan yang sulit ke rumah sakit distrik.
Namun, ketika rasa sakitnya semakin parah, ia bahkan tidak bisa bangun dari tempat tidur. Pada tahun 2021, ia membutuhkan operasi ketika jaringan tulang di pinggulnya mati karena kekurangan oksigen. Dia tidak bisa lagi berjalan, duduk atau tidur tanpa rasa sakit.
Hampir setiap hari, ia menarik kursi plastik tempat ia menghabiskan waktu berjam-jam ke ambang pintu dan melihat keluar saat dunia melewatinya. Teman-teman sekolahnya yang dulu sudah kuliah sekarang dan dia berharap bisa bersama mereka.
"Yang saya rasakan hanyalah kemarahan. Itu menggerogoti batin saya," katanya.
Hydroxyurea, sebuah obat pereda rasa sakit yang disetujui oleh India pada tahun 2021 dan diberikan secara gratis, memungkinkan banyak pasien untuk menjalani kehidupan yang relatif normal, tetapi obat Gond habis beberapa minggu yang lalu dan apoteker di desanya di distrik Surguja tidak memiliki obat tersebut.
Ketika Gond mengonsumsi hidroksiurea selama beberapa minggu, rasa sakitnya berangsur-angsur berkurang, dan ia bisa lebih banyak bergerak. Namun, obat itu sering habis, dan distrik yang luas ini hanya memiliki satu rumah sakit pemerintah yang besar untuk 3 juta penduduk yang sebagian besar tinggal di pedesaan.
Untuk mendapatkan obat dari rumah sakit, ayah Gond harus meminjam sepeda motor dan tidak masuk kerja selama satu hari setiap bulannya - sebuah pengorbanan yang signifikan bagi keluarga yang hidup dengan kurang dari satu dolar per hari.
Ketika keadaan menjadi sangat buruk, Gond memanggil Aayam, sang pekerja sosial, yang datang dengan membawa obat-obatan. Tetapi ada ribuan pasien yang tidak dapat mengakses pusat kesehatan dan Aayam tidak dapat melakukan hal ini sesering mungkin.
Kelaianan sel darah adalah penyakit yang diwariskan di mana sel darah merah yang cacat tidak dapat membawa oksigen dengan baik ke seluruh tubuh. Penyakit ini dapat menyebabkan rasa sakit yang parah dan kerusakan organ dan umumnya ditemukan pada orang-orang yang keluarganya berasal dari Afrika, India, Amerika Latin dan beberapa bagian Mediterania.
Di India, penyakit ini menyebar secara luas, tetapi secara tidak akurat, diderita oleh banyak warga asli pribumi. Seperti banyak penyakit yang terkait dengan masyarakat yang terpinggirkan, penyakit ini telah lama terabaikan. India menyetujui hidroksiurea untuk penyakit kelaianan sel darah dua dekade setelah AS.
Strategi pemerintah saat ini adalah untuk mengeliminasi penyakit ini pada tahun 2047. Rencananya adalah untuk menyaring 70 juta orang yang berisiko pada tahun 2025 untuk mendeteksi penyakit ini sejak dini.
Sambil memberikan konseling kepada mereka yang membawa gen tersebut tentang risiko menikah satu sama lain. Namun, hingga April, mereka baru melakukan skrining terhadap 2 persen dari target 10 juta orang pada tahun 2023.
Para ahli memperingatkan bahwa upaya serupa telah gagal di masa lalu. Sebaliknya, Jain, spesialis kesehatan masyarakat, berpendapat untuk memperkuat sistem kesehatan sehingga mereka dapat menemukan, mendiagnosis, dan merawat orang sakit. Jika pasien tidak dapat pergi ke rumah sakit, ia bertanya, "apakah sistem kesehatan dapat menjangkau masyarakat?"
Beberapa orang sedang mencoba. Bishwajay Kumar Singh, seorang pejabat di rumah sakit Ambikapur, dan Nandini Kanwar, seorang perawat dari Sangwari, melakukan perjalanan selama tiga jam melalui perbukitan berhutan ke desa Dumardih di tepi distrik Surguja.
Raghubeer Nagesh, seorang petani, membawa putranya, Sujeet, 13 tahun, ke rumah sakit sehari sebelumnya. Anak laki-laki itu kehilangan berat badannya secara terus menerus, dan pada suatu sore kakinya terasa seperti terbakar. Hasil tes mengkonfirmasi bahwa ia menderita penyakit kelaianan sel darah.
Ayahnya yang khawatir memberi tahu petugas rumah sakit bahwa beberapa anak lain di desa tersebut memiliki gejala yang sama. Di Dumaridh, Singh dan Kanwar mengunjungi rumah-rumah di mana orang-orang mengalami gejala-gejala tersebut.
Termasuk satu rumah di mana seorang ibu yang khawatir, bertanya apakah penyakit ini akan menghambat pertumbuhan anaknya. Dan seorang pemuda lainnya yang mendapati rasa sakitnya bukan karena kondisi badan yang kelelahan.
Upaya-upaya seperti ini tidak sebanding dengan besarnya jumlah penduduk India. Desa Dumardih di India memiliki beberapa ribu penduduk, menjadikannya sebuah desa kecil menurut standar India. Tetapi keduanya hanya dapat mengunjungi empat atau lima rumah dalam satu kali perjalanan
Berkali-kali, pekerja medis keliling, Singh dan Kanwar ditanyai pertanyaan yang sama, Apakah benar-benar tidak ada obatnya? Wajah-wajah mereka tertunduk saat pengecekan penyakit. Penyakit yang tidak dapat disembuhkan berarti ketergantungan seumur hidup pada sistem kesehatan, sementara hal itu tidak dapat diandalkan di negara ini.
Kanwar mengatakan bahwa mereka akan membantu menyediakan obat-obatan di dekatnya, tetapi meminumnya setiap hari sangat penting. "Dengan begitu, hidup dapat terus berjalan," katanya.