Sabtu 15 Apr 2023 16:06 WIB

Presiden Vladimir Putin Tanda Tangani RUU Wajib Militer Baru

Banyak warga Rusia yang menghindari wajib militer.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nidia Zuraya
 File foto seorang wajib militer Rusia mengucapkan selamat tinggal kepada kerabatnya sebelum dia pergi untuk bertugas di ketentaraan di stasiun kereta api di Sevastopol, Krimea, 09 November 2022.
Foto: EPA-EFE/STRINGER
File foto seorang wajib militer Rusia mengucapkan selamat tinggal kepada kerabatnya sebelum dia pergi untuk bertugas di ketentaraan di stasiun kereta api di Sevastopol, Krimea, 09 November 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Presiden Rusia Vladimir Putin menandatangani rancangan undang-undang yang mengizinkan pihak berwenang mengeluarkan notifikasi elektronik untuk calon anggota pasukan cadangan dan wajib militer. Legislasi yang diusulkan di tengah perang Ukraina dikhawatirkan menimbulkan mobilisasi baru.

Peraturan militer Rusia sebelumnya mewajibkan notifikasi langsung pada calon tentara cadangan dan wajib militer yang dipanggil bertugas. Undang-undang yang baru mengizinkan kantor wajib militer setempat mengirimkan notifikasi melalui layanan pos elektronik pemerintah.

Baca Juga

Sebelumnya banyak warga Rusia yang menghindari wajib militer dengan tidak di alamat yang tertera di catatan pemerintah. Undang-undang baru menutup celah tersebut untuk menciptakan alat mempercepat upaya memperkuat militer untuk mengantisipasi serangan paling Ukraina beberapa pekan mendatang.

Orang yang menerima notifikasi tapi tidak menjalani wajib militer akan dilarang meninggalkan Rusia. Surat izin mengemudi mereka juga akan ditangguhkan dan dilarang menjual apartemen dan aset-aset yang lain. Rancangan undang-undang yang ditandatangani Putin dipublikasikan di kantor dokumen pemerintah, Jumat (15/4/2023).

Aktivis hak asasi manusia dan kritikus Kremlin mengecam legislasi tersebut. Mereka menyebutkan langkah maju menuju 'kamp penjara digital' yang memberi petugas wajib militer wewenang yang belum pernah merkea miliki sebelumnya.

Istri mendiang Walikota St. Petersburg Anatoly Sobchak, Lyudmila Narusova satu-satunya anggota parlemen yang menolak legislasi tersebut. Ketika Dewan Federasi mempertimbangkan rancangan undang-undang itu pada Rabu (12/4/2023) lalu.

Sobchak merupakan mantan mentor Putin. Narusova mengatakan legislasi itu berkontrakdiksi dengan konstitusi Rusia dan berbagai undang-undang lainnya. Ia sangat keberatan rancangan undang-undang itu diloloskan dengan tergesa-gesa.

Legislasi ini juga dikhawatirkan akan memicu gelombang mobilisasi yang baru. Pihak berwenang membantah rencana mobilisasi pasukan ke Ukraina. Pada pekan ini juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan legislasi ini diperlukan untuk menggantikan sistem yang sudah ketinggalan zaman dan memiliki banyak celah yang terungkap setelah mobilisasi pasial musim gugur lalu.

'Terdapat banyak kekacauan dalam pemanggilan wajib militer, tujuan dari undang-undang ini adalah membersihkan kekacauan itu dan membuat sistemnya lebih modern, efektif, dan nyaman bagi masyarakat," katanya.

Pada bulan September lalu Putin memanggil 300 ribu pasukan cadangan setelah serangan balik Ukraina memukul mundur pasukan Rusia dari wilayah-wilayah di bagian timur negara itu. Mobilisasi pasukan memicu banyaknya warga Rusia yang keluar negeri diperkirakan mencapai ratusan ribu orang.

Pengamat menilai undang-undang yang baru akan memberi pihak berwenang mekanisme maksimal untuk mempercepat pengumpulan pasukan untuk bersiap menghadapi serangan baru Ukraina.

"Alasannya mungkin adalah mereka melihat Ukraina mulai mempersiapkan serangan," kata mantan penulis pidato Putin yang kini menjadi kritikus Kremlin dan hengkan dari Rusia, Abbas Gallyamov.

Pihak berwenang Rusia melabelkan Gallyamov sebagai "agen asing", sebuah istilah yang menunjukkan ia diawasi pemerintah dan untuk merusak nama baiknya. Ia juga masuk dalam daftar terdakwa tindak pidana.

Gallyamov mengatakan legislasi wajib militer yang baru mungkin akan memicu ketidakpuasan masyarakat. Tapi tidak akan memicu unjuk rasa.

"Di satu sisi, ketidakpuasan dan keengganan untuk berperang semakin tumbuh, tapi di sisi lain ada ketakutan represi semakin meningkat, masyarakat diberi pilihan sulit antara pergi berperang atau meninggal, atau berakhir di penjara bila mereka protes," katanya.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement