Kamis 20 Apr 2023 14:09 WIB

Pernikahan Anak Terbanyak di Asia Selatan

Kondisi ini akibat meningkatnya tekanan keuangan karena Covid-19.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Ferry kisihandi
Siswa mendaftar untuk vaksin Covid-19 di sebuah sekolah di Ahmedabad, India, Senin, 3 Januari 2022 (ilustrasi). Tekanan finansial akibat pandemi membuat orang tua menikahkah anak perempuannya.
Foto: AP/Ajit Solanki
Siswa mendaftar untuk vaksin Covid-19 di sebuah sekolah di Ahmedabad, India, Senin, 3 Januari 2022 (ilustrasi). Tekanan finansial akibat pandemi membuat orang tua menikahkah anak perempuannya.

REPUBLIKA.CO.ID,NEW DELHI -- Asia Selatan menjadi kawasan dengan pernikahan anak terbanyak di dunia. Menurut UNICEF pada Rabu (19/4/2023), kondisi ini akibat meningkatnya tekanan keuangan dan penutupan sekolah karena Covid-19.

Ada 290 juta pernikahan anak di wilayah tersebut, terhitung menyumbang 45 persen dari total global. Badan anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa ini, menyerukan lebih banyak upaya untuk mengakhiri praktik tersebut.

"Fakta Asia Selatan memiliki jumlah pernikahan anak tertinggi di dunia bukanlah hal tragis," kata Direktur Regional UNICEF untuk Asia Selatan Noala Skinner. 

Ia menyatakan, pernikahan anak membuat anak perempuan tidak bisa belajar, membahayakan kesehatan dan kesejahteraannya, serta masa depan mereka. "Setiap anak perempuan yang menikah saat masih anak-anak menambah banyak anak perempuan lainnya," ujarnya.

Studi baru UNICEF  juga menyertakan wawancara dan diskusi di 16 lokasi di Bangladesh, India, dan Nepal. Terungkap, banyak orang tua melihat pernikahan pilihan terbaik bagi anak perempuan karena memiliki pilihan terbatas untuk belajar selama penguncian Covid-19.

Usia legal untuk menikah bagi perempuan adalah 20 tahun di Nepal, 18 tahun di India, Sri Lanka, dan Bangladesh, serta 16 tahun di Afghanistan. Sedangkan di Pakistan adalah 16 tahun kecuali provinsi Sindh, dengan usia minimum 18 tahun.

Studi PBB juga menemukan, keluarga didorong oleh tekanan keuangan selama pandemi untuk menikahkan anak perempuannya di usia muda. Tindakan ini dianggap akan mengurangi biaya rumah tangga.

UNICEF mengatakan, solusi potensial termasuk perlindungan sosial untuk melawan kemiskinan. Lalu, melindungi hak anak atas pendidikan, memastikan kerangka kerja memadai untuk menegakkan hukum, dan melakukan lebih banyak upaya untuk menangani norma-norma sosial.

“Kita harus berbuat lebih banyak dan memperkuat kemitraan untuk memberdayakan anak perempuan melalui pendidikan,‘’kata Direktur Regional Asia-Pasifik dari Dana Kependudukan PBB Bjorn Andersson. Termasuk, pendidikan seksualitas yang komprehensif.

Ditambah membekali mereka dengan keterampilan, sambil mendukung masyarakat untuk bersama-sama mengakhiri praktik yang mengakar ini. 

sumber : reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement