Jumat 21 Apr 2023 00:01 WIB

Canda Almarhum KH Hasyim Muzadi soal Beda Idul Fitri NU dan Muhammadiyah

KH Hasyim Muzadi menyampaikan beda idul fitri NU dan Muhammadiyah di 80 tahun Gontor.

Rep: Mabruroh/ Red: Erdy Nasrul
Buku biografi KH. Hasyim Muzadi dipajang saat kegiatan bedah buku pada acara Islamic Book Fair 2018 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Jumat (20/4).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Buku biografi KH. Hasyim Muzadi dipajang saat kegiatan bedah buku pada acara Islamic Book Fair 2018 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Jumat (20/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Perbedaan hari Idul Fitri antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) kembali terjadi tahun ini. Muhammadiyah menetapkan Jumat 21 April sebagai hari raya, sedangkan NU menetapkan Sabtu 22 April sebagai hari raya Idul Fitri.

Perbedaan ini sempat membuat kesalahpahaman beberapa pihak hingga akhirnya pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama buka suara untuk meredam kegaduhan dan agar umat Muslim di seluruh Indonesia mengedepankan toleransi.

Baca Juga

Menanggapi perbedaan penentuan 1 Syawal ini, akun Tiktok kang habibae mengunggah kembali ceramah mantan Ketua Umum PBNU almarhum Kh Hasyim Muzadi. Di mana sosok sepuh pengasuh pondok pesantren Al Hikmah Malang itu menanggapi perbedaan tersebut dengan santai, bahkan beliau mengemasnya dengan guyonan.

“Dulu pak Din, waktu saya habis dari gontor pulang beda hari raya itu berkelahi, takut puasanya dosa, padahal yang selisih Muhammadiyah sama NU, ini kan cuma tanggalnya, kan bukan hari rayanya, bener apa engga? Kalau dibetulkan pengasuh shahih! Yang beda itu tanggalnya, kalau sholatnya ya itu Allahu akbar, sekian kali takbirnya, ya sama,” kata Kyai Hasyim.

Menurut Kyai Hasyim perbedaan ini terjadi karena cara perhitungan antara Muhammadiyah dan NU yang berbeda dalam menetapkan bulan Qamariyah. Jika NU harus melihat langsung hilal baru, sedangkan Muhammadiyah cukup dengan ijtima.

“Kalau NU itu harus kelihatan tanggalnya (hilalnya) dan itu harus 2 derajat diatas ufuk, muhammadiyah sudah ijtima selesai. Ada apa mesti diinceng (diteropong)? Apa tamu dia?  yang ngiceng ini (NU) tidak mau disalahkan karena Rasulullah saw juga nginceng,” ujarnya.

Sampai pada satu kesempatan, sambungnya, ia dan Din Syamsudin yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum Muhammadiyah dipanggil oleh Jusuf Kalla karena masalah perbedaan 1 syawal. JK yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia marah dan meminta Muhammadiyah dan NU untuk berkompromi agar bisa merayakan Idul fitri di hari dan tanggal yang sama.

“Pak JK marah-marah, ini gimana NU-Muhammadiyah, masa tidak bisa jadi satu hari rayanya, repot masyarakat kalau begitu,” ujarnya menirukan omelan Jusuf Kalla.

“Saya tanya, caranya bagaimana pak?” kata kyai Hasyim.

“Ya kompromilah, bagaimana kalau Muhammadiyah turun 1 derajat, NU naik 1 derajat,” ujar JK.

“Oh kalau gitu langsung saja cash and carry saja, ini fiqihnya pedagang,” ujar Hasyim, “tidak bisa pak,” tambahnya

“Lalu yang bisa bagaimana?” tanya JK.

“Yang bisa, pengertian seluruh umat Islam, perbedaan itu terbuka, memang ada. Ini tidak mengada-ada karena sholatnya sama, (hanya) tanggalnya yang beda,” kata Hasyim

Lalu beliau mengibaratkan bahwa hari di Indonesia dan di Amerika pun berbeda, begitu juga dengan di Jepang. Misalnya ketika beliau berangkat dari Narita-Jepang pada Jumat sore dan tiba di California pada Jumat pagi.

“Kita berangkat dari Jepang (Narita) itu jumat sore sampai di kalifornia itu jumat pagi, ini sholat jumat lagi atau tidak?” ujarnya yang langsung disambut gelak tawa.

“Sama ketika pulang dari New York ke Jakarta, berangkatnya  Jumat pagi sampai Jakarta hari minggu, jadi kehilangan satu hari, tidak tahu di mana sabtunya ini,” kata dia.

“Jadi soal (perbedaan) tanggal ini sudah biasa, biasa saja lah, nah Alhamdulillah ini karena mungkin zamannya yang berubah maka kedekatan ini semakin hari semakin nyata. Saya sama Pak Din sering diundang pidato bareng, kadang saya bisa kadang pak Din bisa, kadang salah satu tidak bisa. Tapi saya lebih sering diundang Muhammadiyah daripada pak Din diundang NU. Padahal ini mantan NU ini, kenapa dia pindah? Karena tidak kerasan saja sama orang NU, bukan karena teori yang tinggi-tinggi itu,” tutur kyai Hasyim.

Menurutnya, sekalipun NU dan Muhammadiyah berbeda di dalam huruf bahkan ibnul huruf tetapi wawasan keumatan sama, wawasan kenegaraan sama, karena hadratus syaikh, KH Hasyim Asy'ari, ikut mendirikan republik dan KH Ahmad Dahlan ikut mendirikan republik. Pahlawan nasional ada di kedua belah pihak, tahu jerih payahnya bagaimana membawa Islam di tengah kebhinekaan yang luar biasa itu.

“Jadi NU sama Muhammadiyah menurut saya itu sepasang sandal, kalau dipakai ya dipakai semua, kalau tidak ya sekalian tidak semua, jangan dipakai yang kanan, yang kiri tidak dipakai, nanti dikira orang stres,” guraunya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement