Ahad 23 Apr 2023 09:10 WIB

ICRC Minta Sudan Beri Akses Kemanusiaan

ICRC sangat prihatin atas penderitaan warga sipil di Sudan

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Esthi Maharani
Asap mengepul di atas kota selama pertempuran yang sedang berlangsung antara tentara Sudan dan paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) di Khartoum, Sudan, (19/4/2023). Perebutan kekuasaan meletus sejak 15 April antara tentara Sudan yang dipimpin oleh Panglima Angkatan Darat Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dan paramiliter dari Pasukan Dukungan Cepat (RSF) yang dipimpin oleh Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, mengakibatkan setidaknya 200 kematian menurut asosiasi dokter. di Sudan.
Foto: EPA-EFE/STRINGER
Asap mengepul di atas kota selama pertempuran yang sedang berlangsung antara tentara Sudan dan paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) di Khartoum, Sudan, (19/4/2023). Perebutan kekuasaan meletus sejak 15 April antara tentara Sudan yang dipimpin oleh Panglima Angkatan Darat Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dan paramiliter dari Pasukan Dukungan Cepat (RSF) yang dipimpin oleh Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, mengakibatkan setidaknya 200 kematian menurut asosiasi dokter. di Sudan.

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Komite Palang Merah Internasional (ICRC) meminta para pihak yang bertikai di Sudan untuk memberi mereka akses kemanusiaan ke negara tersebut. ICRC sangat prihatin atas penderitaan warga sipil di sana akibat pertempuran antara militer dan kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF).

“Para pihak belum memberi kami jaminan keamanan yang diperlukan. Ini tidak bisa dilanjutkan. Kami memohon kepada para pihak untuk memberikan ICRC akses kemanusiaan segera dan tanpa hambatan untuk membantu warga sipil Sudan yang membutuhkan. Ini bukan pilihan; ini adalah kewajiban hukum di bawah hukum humaniter internasional,” kata Presiden ICRC Mirjana Spoljaric, Jumat (21/4/2023).

Dia mengungkapkan, selama sepekan terakhir dunia menyaksikan adegan kekerasan dan pertumpahan darah yang mengerikan di Sudan. “Ketika pertempuran berkecamuk di daerah pemukiman, warga sipil-lah yang harus membayar harga tertinggi,” ujarnya.

Spoljaric mengatakan, pertempuran telah mempersulit rakyat Sudan meninggalkan rumah mereka untuk memperoleh perbekalan atau bergabung dengan rombongannya yang ingin meninggalkan Khartoum. “Saya sangat prihatin dengan tingkat penderitaan warga sipil di Khartoum dan bagian lain negara ini. Warga menelepon rekan-rekan saya di Sudan setiap hari untuk memohon bantuan untuk menghindari kekerasan,” ucapnya.

“Para keluarga telah tercabik-cabik serta orang-orang kehabisan makanan dan air setelah terjebak di dalam ruangan tanpa istirahat. Pihak-pihak yang bertikai harus melakukan segala kemungkinan untuk menjauhkan warga sipil dari bahaya,” kata Spoljaric menambahkan.

Dia pun mengingatkan Idul Fitri harus menjadi momen perayaan dan kegembiraan. “Tidak ada yang ingin melihat pertumpahan darah berlanjut atau kekerasan berubah menjadi krisis berlarut-larut yang jauh lebih besar. Apa yang dibutuhkan orang saat ini adalah jeda yang berarti dalam permusuhan untuk memungkinkan bantuan kemanusiaan dibawa masuk dan bagi orang-orang untuk pergi ke daerah yang lebih aman,” ucapnya.

Militer Sudan dan RSF telah menyepakati gencatan senjata 72 jam dalam rangka perayaan Idul Fitri. Jeda pertempuran dimulai pada Jumat lalu, pukul 06:00 waktu setempat. Namun laporan menyebut, kontak bersenjata masih terjadi di beberapa titik. Menurut PBB, sejak pertempuran antara kedua belah pihak itu pecah pada 15 April lalu, lebih dari 410 orang telah tewas. Sementara korban luka melampaui 3.000 orang.

Pertempuran antara militer Sudan dan kelompok RSF pecah ketika negara tersebut tengah berusaha melakukan transisi politik menuju demokrasi sipil pasca ditumbangkannya rezim mantan presiden Omar al-Bashir oleh militer pada 2019.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement