REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Libur Idul Fitri biasanya dimanfaatkan oleh banyak warga di Ibu Kota Sudan, Khartoum untuk mengunjungi kerabat di luar kota. Tapi tahun ini, mereka merayakan Idul Fitri di tengah kepanikan perang.
Idul Fitri di Sudan dimulai pada Jumat (21/4/2023). Namun ibu kota masih bergema dengan tembakan dan artileri berat, kendati ada seruan internasional untuk gencatan senjata dan memungkinkan bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan termasuk perjalanan yang aman bagi warga sipil.
Angkatan bersenjata dan kelompok paramiliter Sudan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) yang bertikai menyatakan bahwa mereka akan mematuhi gencatan senjata. Tetapi penembakan sporadis berlanjut di Khartoum hingga malam hari.
Selama sepekan terakhir, semakin banyak orang yang berusaha melarikan diri ke daerah yang lebih aman di ibu kota, kendati militer telah menutup jembatan yang melintasi Sungai Nil antara Khartoum dan kota kembarnya Omdurman dan Bahri. Penduduk juga telah memetakan rute keluar, ke Negara Bagian Gezira di selatan atau Negara Bagian Sungai Nil di utara.
Seorang warga Sudan, Ahmed Mubarak, (27 tahun) mengatakan, dia merasakan kecemasan yang luar biasa setelah kekerasan meletus pada 15 April. Dia memutuskan untuk meninggalkan Khartoum pada Kamis (20/4/2023) tanpa membawa harta benda maupun perbekalan. Mubarak hanya membawa pakaian yang dia kenakan.
"Tidak ada bus, orang berjalan kaki, dengan tas mereka dan bergerak. Ada mobil yang lewat, tapi semuanya mobil pribadi dan semuanya penuh," ujar Mubarak.
Akhirnya Mubarak menumpang bus yang pemiliknya secara sukarela mengangkut orang keluar kota. Dia berhasil sampai ke Atbara, yang terletak sekitar 280 km timur laut Khartoum. Mubarak melarikan diri ke rumah keluarganya di Atbara.
"Mereka tidak percaya. Itu adalah momen yang sangat indah," kata Mubarak.
Bentrokan pecah pada hari-hari terakhir bulan suci Ramadhan ketika umat Islam berpuasa dari fajar hingga senja. Konflik telah memutus pasokan air dan listrik untuk waktu yang lama, termasuk mengubah bandara menjadi medan pertempuran dan menutup sebagian besar rumah sakit.
Di banyak lingkungan di Khartoum, penduduk terjebak di rumah mereka. Para penduduk hanya untuk mencari kebutuhan pokok di toko-toko yang terkena penjarahan. Selain itu, jumlah pasokan bahan poko jug semakin menipis. Bahan bakar juga semakin sulit ditemukan.
"Khartoum telah menjadi berbahaya dan kami khawatir perang akan semakin parah," kata seorang warga Khartoum, Mahasin Ahmed (55 tahun).
Ahmed meninggalkan lingkungan Jabra di Khartoum selatan dengan dua kerabatnya. Dia berharap dapat menemukan bus ke Kota Madani.
Ketika kekerasan meletus di wilayah lain di Sudan, beberapa orang berusaha meninggalkan negara itu. Hingga 20.000 orang melintasi perbatasan ke Chad, sementara lainnya menuju utara ke Mesir.
Perjalanan penduduk yang melarikan diri penuh dengan resiko. Mereka yang melarikan diri sering kali harus melewati pos pemeriksaan RSF, di mana beberapa warga sipil dilaporkan ditembak.
Makram Waleed, seorang dokter berusia 25 tahun, berharap untuk meninggalkan Khartoum bersama keluarganya. Tetapi dia khawatir dengan risiko bahaya bagi ketiga adik perempuannya.
"Risiko meninggalkan rumah kami, meninggalkan barang-barang kami, terlalu sulit untuk diproses," kata Waleed.
Di Khartoum, RSF telah menempatkan diri mereka di beberapa lingkungan. Beberapa orang khawatir jika mereka meninggalkan rumah, maka para pejuang paramiliter akan masuk.
Alia Mutawkel, seorang arsitek dan desainer interior berusia 26 tahun yang tinggal di Khartoum, mencoba mencari rute aman keluar kota bersama dua saudara kandungnya, paman dan anak-anaknya, serta keponakannya yang berusia 8 bulan. Namun Mutawkel khawatir dengan keamanan keluarganya.
"Apakah kami dapat meninggalkan rumah atau tidak? Jika kami meninggalkan rumah, apakah kami akan aman? Dan jika kami pergi, apakah kami dapat kembali ke rumah kami dan kehidupan kami di Khartoum? Semua pertanyaan ini ada di benak saya." kepala dan saya tidak punya jawaban untuk mereka," ujar Mutawkel.