REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM – Angkatan bersenjata Amerika Serikat (AS) dan Inggris, serta negara lain telah mengevakuasi staf kedutaan dan warganya dari Sudan.
Kedua kelompok yang bertempur di ibu kota Khartoum tidak kunjung mereda dan membuat warga yang dievakuasi terluka pada Ahad (23/4/2023).
Ketika orang-orang berusaha melarikan diri dari kekacauan, negara-negara mulai mendaratkan pesawat dan mengorganisir konvoi di Khartoum untuk menarik warga negaranya.
Beberapa warga negara asing terluka. Tembakan terdengar di seluruh kota dan asap gelap menggantung di atas kepala.
Pihak yang bertikai, tentara Sudan dan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) saling menuduh menyerang konvoi Prancis, keduanya mengatakan satu orang Prancis terluka. Kementerian Luar Negeri Prancis yang sebelumnya mengatakan sedang mengevakuasi staf diplomatik dan warga negara tidak berkomentar kembali atas serangan itu.
Prancis mengatakan sebuah pesawat Prancis yang membawa sekitar seratus orang termasuk delegasi Uni Eropa di Khartoum.
Evakuasi ini bersama dengan warga negara lain telah berangkat ke Djibouti dan pesawat kedua dengan nomor yang sama akan segera lepas landas.
Diduga RSF juga menjarah konvoi Qatar yang menuju ke Port Sudan. Dalam insiden terpisah, seorang warga Irak meninggal dalam bentrokan dan Mesir mengatakan salah satu diplomatnya terluka.
Tentara Sudan mengatakan, bekerja sama dengan Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Prancis dalam operasi evakuasi di Wadi Sedna, sebuah pangkalan udara di utara Khartoum. Operasi Qatar dan Yordania dilakukan melalui darat ke Port Sudan.
Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau, menyatakan negara itu juga telah mengeluarkan diplomatnya dan berusaha mendukung staf lokalnya. Mesir, India, Nigeria, dan Libya termasuk di antara negara-negara yang mengatakan sedang bekerja untuk memulangkan rakyatnya.
Baca juga: 6 Fakta Seputar Saddam Hussein yang Jarang Diketahui, Salah Satunya Anti Israel
Upaya untuk mengekstraksi penduduk asing membuat frustrasi beberapa orang Sudan. Mereka merasa faksi lawan kurang memperhatikan keselamatan penduduk setempat.
“Melihat orang asing pergi membuat saya kesal karena saya melihat ada beberapa kelompok yang dibantu oleh tentara dan RSF, sementara kami terus dipukuli,” kata Alsadig Alfatih yang berhasil meninggalkan rumahnya untuk pertama kali sejak pertempuran meletus.
Alfatih berhasil meninggalkan rumahnya pada Ahad . Dia mengaku akan pergi ke Mesir. Pertempuran pecah di Khartoum dan bagian lain negara itu pada 15 April, empat tahun setelah otokrat Omar al-Bashir yang telah lama berkuasa digulingkan.
Tentara dan RSF bersama-sama melakukan kudeta pada 2021 tetapi berselisih selama negosiasi untuk mengintegrasikan kedua kelompok dan membentuk pemerintahan sipil.