REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr mengatakan akan menekan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden untuk menjelaskan sejauh mana komitmen AS untuk melindungi Filipina berdasarkan pakta keamanan 1951. Ia menyinggung memanasnya ketegangan di kawasan.
Dua pemerintah Filipina sebelumnya sudah mendesak AS untuk lebih spesifik dalam situasi seperti apa Washington akan membela sekutu lamanya di Asia Tenggara berdasarkan Perjanjian Pertahanan Bersama. Desakan ini disampaikan saat resiko konfrontasi di Luat Cina Selatan meningkat.
Marcos akan menggelar pembicaraan dengan Biden di Washington pada 1 Mei mendatang. Gedung Putih mengatakan pertemuan itu akan menegaskan kembali "komitmen tak tergoyahkan untuk mempertahankan Filipina."
"(Perjanjian itu) perlu disesuaikan karena perubahan situasi yang kami hadapi di Laut Cina Selatan, Taiwan, Korea Utara," kata Marcos dalam wawancara radio, Senin (24/4/2023).
"Situasinya memanas," tambahnya.
Sementara itu Cina membangun aset militer dan penjaga pantainya di Laut Cina Selatan. Termasuk di pulau reklamasi di kepulauan Spratly. Cina melengkapinya dengan sistem rudal yang mampu menjangkau Filipina.
Desakan ini juga disampaikan saat pemerintah Biden dan Marcos meningkatkan aliansi militernya. Jumlah personel militer AS dalam latihan militer gabungan tahun ini tembus rekor dan Filipina hampir melipatgandakan pangkalan militernya yang dapat diakses Washington.
Filipina mengatakan kesepakatan mengenai pangkalan militer untuk kepentingannya sendiri.
Namun Cina mengatakan pakta dengan AS memicu ketegangan di kawasan. Pada Senin kemarin Marcos mengatakan ia dan Biden akan membahas apa yang sebenarnya diperlukan dalam aliansi mereka dan bagaimana mengelola ketegangan dengan Cina.
"Apa kemitraan kami sebenarnya? Apa yang bisa kami lakukan untuk menurunkan ketegangan atau mengurangi retorika? Karena terdapat pertukaran kata-kata keras," katanya.