Kamis 27 Apr 2023 08:25 WIB

Selamatkan Diri dari Pertempuran, Warga Sudan Mengungsi ke Perbatasan

Kerumunan orang Sudan dan warga negara asing menunggu di Port Sudan.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
Dalam foto yang disediakan oleh Maheen S ini, asap memenuhi langit di Khartoum, Sudan, dekat Rumah Sakit Internasional Doha pada Jumat (21/4/2023).
Foto: Maheen S via AP
Dalam foto yang disediakan oleh Maheen S ini, asap memenuhi langit di Khartoum, Sudan, dekat Rumah Sakit Internasional Doha pada Jumat (21/4/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Warga Sudan berkumpul di perbatasan dengan Mesir dan di kota pelabuhan di Laut Merah pada Rabu (26/4/2023). Mereka mati-matian berusaha melarikan diri dari kekerasan yang sedang meletus dan terkadang menunggu berhari-hari dengan sedikit makanan atau tempat berlindung.

Sejumlah besar orang telah melakukan perjalanan sepanjang hari yang melelahkan melintasi padang pasir untuk mengakses titik-titik agar bisa keluar dari Sudan. Mereka melakukan perjalanan menuju kota Port Sudan di pantai Laut Merah timur dan ke penyeberangan Arqin ke Mesir di perbatasan utara.

Baca Juga

Kerumunan orang Sudan dan orang asing juga menunggu di Port Sudan, mencoba mendaftar feri ke Arab Saudi. Komentator politik Sudan Dallia Abdelmoniem mengatakan, dia dan keluarganya tiba pada awal pekan dan berusaha mendapatkan tempat.

“Prioritas diberikan kepada warga negara asing,” kata Abdelmoniem.

Abdelmoniem dan beberapa keluarga besarnya, kebanyakan perempuan dan anak-anak, menempuh perjalanan bus selama 26 jam untuk mencapai pelabuhan Mereka melewati pos pemeriksaan militer dan desa kecil tempat orang-orang menawarkan jus kembang sepatu dingin dan air untuk pengunjung dari Khartoum.

“Orang-orang ini memiliki sangat sedikit, tetapi mereka menawarkan sesuatu kepada setiap penumpang di semua bus dan truk ini untuk membuat perjalanan mereka lebih baik,” kata Abdelmoniem.

Di penyeberangan Arqin, keluarga Abdelmoniem menghabiskan malam di luar di padang pasir, menunggu untuk diizinkan masuk ke Mesir. Bus berbaris di persimpangan.

“Ini berantakan, antrean panjang orang tua, pasien, perempuan dan anak-anak menunggu dalam kondisi yang menyedihkan,” kata Moaz al-Ser, seorang guru Sudan yang tiba bersama istri dan tiga anaknya di perbatasan sehari sebelumnya.

Puluhan ribu penduduk Khartoum juga telah melarikan diri ke provinsi tetangga atau bahkan ke kamp pengungsian. Padahal tempat pengungsian yang sudah ada di Sudan itu telah menampung korban konflik masa lalu.

Menurut laporan Kementerian Kesehatan Sudan, sedikitar 512 orang, termasuk warga sipil dan milisi, telah meninggal sejak pertempuran meletus pada 15 April, dengan 4.200 lainnya terluka. Sindikat Dokter Sudan yang melacak korban sipil mengatakan, sedikitnya 295 warga sipil meninggal dan 1.790 terluka.

Gencatan senjata 72 jam yang diumumkan oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken akan berlangsung hingga Kamis (27/4/2023) malam. Banyak yang khawatir bahwa pertempuran hanya akan meningkat setelah dievakuasi warga asing, karena itu tampaknya berada di tahap terakhir.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres memperingatkan bahwa konflik tersebut membahayakan masa depan Sudan. "Namun itu juga memicu pemicu yang dapat meledak melintasi perbatasan, menyebabkan penderitaan luar biasa selama bertahun-tahun, dan membuat pembangunan mundur beberapa dekade," ujarnya.

Guterres mengutip laporan tentang bentrokan bersenjata di seluruh negeri, dengan orang-orang meninggalkan rumahnya di negara bagian Blue Nile dan Kordofan Utara dan juga di seluruh Darfur Barat. Asisten sekretaris jenderal untuk urusan kemanusiaan PBB Joyce Msuya mengatakan kepada Dewan Keamanan,ada banyak laporan tentang kekerasan berbasis seksual dan gender.

"PBB telah menerima laporan puluhan ribu orang tiba di Republik Afrika Tengah, Chad, Mesir, Ethiopia, dan Sudan Selatan," kata Msuya.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement