REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kedutaan Besar (Kedubes) Amerika Serikat (AS) di Jakarta menggelar World Press Freedom Day 2023 pada Rabu (3/5/2023). Acara ini digelar sebagai upaya Kedubes AS mendukung kebebasan pers, berekspresi dan berpendapat – hak asasi manusia di Indonesia terus tumbuh lebih baik, dalam mewujudkan demokrasi yang sehat
Juru Bicara Kedutaan Besar AS di Jakarta, Michael Quinlan mengatakan acara peringatan hari pers se-dunia 2023 ini sekaligus mendukung nilai kebebasan berekspresi dan berpendapat yang semakin lebih baik di Indonesia. Kedubes AS sangat mendukung penguatan kebebasan pers, termasuk kebebasan berekspresi dan berpendapat tersebut.
Karena, menurut dia, hal ini adalah nilai yang sangat penting bagi kualitas demokrasi di Indonesia. Sebagai negara demokrasi muslim terbesar di dunia, status itu tidak bisa dicapai tanpa nilai kebebasan pers, berekspresi dan berpendapat yang terus dipertahankan.
"Karena kebebasan pers, Berekspresi dan berpendapat sebagai katalis dalam mencapai terpenuhinya hak-hak asasi manusia. Jadi sangat penting bagi kita semua untuk tetap berkomitmen menjaga nilai kebebasan ini di Indonesia, dan kami sangat mendukungnya," kata Quinlan.
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Sasmito Madrim yang juga sebagai salah satu narasumber mengatakan kebebasan pers merupakan hal yang sangat fundamental atau penting di suatu negara. Sebab, lanjut dia, kebebasan pers mampu mendorong penegakkan hak asasi manusia. Maka sangat wajar biasanya kebebasan pers dikaitkan dengan istilah kemerdekaan pers di beberapa negara lain.
Dalam beberapa tempat terkait kebebasan pers di Indonesia memang sudah berjalan baik, seperti di Jakarta. Walaupun ada beberapa kasus yang masih saja ditemukan terkait larangan dalam aktivitas pers.
Namun di beberapa tempat di Indonesia, sebut saja seperti di Papua, dan beberapa wilayah lain di Indonesia, kebebasan pers itu menjadi hal yang sulit dilakukan. "Stigma stigma pelarangan pers itu masih ada di Indonesia," kata dia.
AJI menekankan, bangsa ini tidak ingin seperti Myanmar, yang para jurnalisnya dipenjarakan oleh pemerintahnya, dalam hal ini pemerintahan junta militer Myanmar. Maka AJI selalu berharap dan mendorong agar kebebasan pers, khususnya di Indonesia itu perlu terus diperjuangkan.
Data indeks kebebasan pers yang diungkapkan AJI, berdasarkan riset Dewan Pers pada 2021 kebebasan pers berada di angka 76,02 dan di 2022 berada di skor 77,88. Dimana hal ini menunjukkan kebebasan pers di Indonesia masih cukup tinggi.
"Walaupun AJI mengkritisi ada satu indikator dari riset ini tidak menyertakan data kekerasan kepada jurnalis. Riset ini hanya berdasarkan kondisi ekonomi, politik dan kebebasa berserikat, tapi soal kekerasan tidak dimasukkan. Jadi ada kekurangan menurut AJI riset yang dilakukan Dewan Pers," kata Sasmito.
Peneliti SETARA Institute, Sayyidatul Insiyah memaparkan bagaimana sebetulnya gambaran dari kebebasan berekspresi berpendapat di Indonesia dalam laporan indeks kinerja HAM dari tahun 2019 hingga 2022. Uniknya kebebasan berekspresi dan berpendapat itu adalah selalu merupakan indikator dengan skor yang paling rendah.
"Jadi bukan lagi dia tren yang menurun, tapi dia sudah menurun tiap tahunnya paling rendah pula dan uniknya dia tidak mencapai angka tiga," ujar Insiyah.
Sebagai gambaran, indeks HAM ini menggunakan rentang nilai 1 sampai dengan 7. Artinya angka skor 1 menunjukkan bahwa nilai pemenuhan dan penghormatan oleh pemerintah terhadap hak asasi manusia itu sangat buruk. Sementara angka 7 itu menunjukkan bahwasanya nilai penghormatan dan pemenuhan pemerintah terhadap upaya-upaya hak asasi manusia itu sangat baik.
"Jadi bisa kita refleksikan ya kira-kira kalau misalkan angkanya tidak mencapai angka 2 kemudian angka itu ternyata terus menurun dan laporan terbaru di Tahun 2022 kemarin jadi per 10 Desember bertepatan dengan hari HAM sedunia laporan ini dirilis itu indeks atau skor untuk indeks kebebasan berekspresi berpendapat itu adalah 1,5 gitu trennya sudah dari tahun ke tahun itu selalu menurun dan menjadi skor yang terendah di antara variabel-variabel lainnya," jelasnya.
Catatan lain, kata dia, bagaimana kemudian alat negara ini menjadi aktor represif. Alih-alih seharusnya aparat keamanan itu menjamin kebebasan HAM itu bisa terpenuhi, namun sebaliknya malah mereka yang justru menjadi aktor pelanggaran HAM.
Dan yang tidak kalah penting adalah RKUHP yang kemarin baru disahkan, menjadi KUHP. Bagaimana aturan itu sangat mungkin menjadi alat pemberangusan kembali kebebasan berekspresi masyarakat. Terutama hal yang terkait dengan beberapa pasal-pasal misalnya adalah pasal penghinaan terhadap pemerintah.
"Bagaimana kita bisa bayangkan ketika mungkin pemerintah saat itu sangat anti kritik, kemudian kita ingin menyalurkan pendapat atau ingin mengkritik pemerintah itu itu sangat amat rawan menjadi disalahgunakan atau dalam hal ini biasanya disebut sebagai pasal karet," tegasnya.
Menurut AJI dan SETARA, penilaian kebebasan pers, berekspresi dan berpendapat Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan penurunan. Hal itu disebabkan adanya berbagai regulasi yang justru membungkam suara masyarakat seperti penerapan UU ITE, UU Ciptakerja,dan RKUHP.
Bahkan keterlibatan aparat keamanan dalam upaya membungkam kebebasan ers, berekspresi dan berpendapat semakin nyata diungkap oleh masyarakat di berbagai platform media sosial, yang berujung menjadi viral di masyarakat.