Kamis 04 May 2023 08:26 WIB

ASEAN Dinilai tidak Terbuka dalam Menyelesaikan Krisis Myanmar

Myanmar mempertanyakan sejauh apa ASEAN bekerja selesaikan krisis Mynamar

Foto yang disediakan oleh Kelompok Aktivis Kyunhla ini menunjukkan setelah serangan udara di desa Pazigyi di Kotapraja Kanbalu, Wilayah Sagaing, Myanmar, Selasa (11/4/2023). Saksi dan laporan media independen mengatakan puluhan penduduk desa di Myanmar tengah tewas dalam serangan udara dilakukan Selasa oleh pemerintah militer negara Asia Tenggara itu.
Foto: Kyunhla Activists Group via AP
Foto yang disediakan oleh Kelompok Aktivis Kyunhla ini menunjukkan setelah serangan udara di desa Pazigyi di Kotapraja Kanbalu, Wilayah Sagaing, Myanmar, Selasa (11/4/2023). Saksi dan laporan media independen mengatakan puluhan penduduk desa di Myanmar tengah tewas dalam serangan udara dilakukan Selasa oleh pemerintah militer negara Asia Tenggara itu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ketua organisasi riset dan advokasi masyarakat Myanmar, Progressive Voice, Khin Ohmar, menilai Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) tidak terbuka dalam menyelesaikan krisis di Myanmar.

Dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (4/5/2023) Khin mengaku tidak tahu apa yang telah ASEAN lakukan selama ini dan sejauh apa organisasi kawasan tersebut bekerja menyelesaikan krisis Myanmar.

Baca Juga

"Pemerintah Indonesia mengatakan bahwa mereka telah melibatkan beberapa pemangku kepentingan di Myanmar, tetapi kami tidak melihatnya secara terbuka, di mana transparasinya?" kata Khin.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada 5 April lalu menyatakan Indonesia telah berkomunikasi dengan berbagai pihak di Myanmar sebagai upaya memulai dialog inklusif. Salah satu hasilnya adalah dibukanya akses AHA Centre untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan.

Ketika ditanya soal kemungkinan Indonesia sebagaiKetua ASEAN 2022 lebih memilih menempuh dialog tertutup atau quiet diplomacy dalam menangani isu Myanmar, Khin menyebut langkah tersebut "sandera diplomatik".

"Bagi kami rakyat Myanmar, quiet diplomacy adalah bentuk penindasan ganda; penindasan dari militer dan ASEAN yang memilih untuk melakukannya secara tertutup," ujar dia.

"Kami melihatnya seperti menunda penegakan keadilan dan membiarkan lebih banyak orang tewas terbunuh. Quiet diplomacy hanya akan memperburuk kekejaman di lapangan," kata dia.

Khin mendesak para pemimpin ASEAN agar membantu mengakhiri serangan udara yang terus dilancarkan junta terhadap masyarakat sipil Myanmar. Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) mencatat lebih dari 3.000 warga sipil tewas dalam dua tahun terakhir.

Dia berharap pertemuan puncak ASEAN di Indonesia tahun inimenghasilkan langkah nyata demi menurunkan kekerasan di Myanmar.

Sementara itu, pendiri dan Koordinator ALTSEAN-Burmayang memperjuangkan hak asasi manusia di kawasan ASEAN terutama Myanmar, Debbie Stothard, mengatakan jalur diplomasi apa pun yang ditempuh ASEAN dan Indonesia dalam menyelesaikan krisis Myanmar belum ada kemajuan karena junta hingga kini masih menyerang warga sipil Myanmar.

"Indikator yang harus kita lihat sekarang adalah apa yang terjadi pada masyarakat Myanmar. Menjelang KTT ASEAN, kami belum melihat adanya penurunan kekerasan. Yang kami lihat adalah insiden-insiden yang justru menambah jumlah warga sipil yang tewas," kata Debbie.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement