REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Pertempuran bersenjata sengit kembali terjadi pada Kamis pagi antara tentara nasional Sudan dengan pasukan paramiliter di sejumlah daerah di ibu kota Khartoum.
Saksi mata mengatakan kepada Anadolu bahwa pertempuran terdengar di istana kepresidenan dan Komando Jenderal Angkatan Darat Sudan di pusat kota Khartoum.
Dalam sebuah pernyataan, tentara Sudan mengatakan pasukannya bertempur dengan Pasukan Dukungan Cepat (RSF), yang mencoba menyerang komando angkatan darat di kota Bahri yang bersebelahan dengan Khartoum.
Pernyataan itu menambahkan bahwa tentara mengakibatkan kekalahan dan korban jiwa di pihak RSF, dan memaksa mereka mundur.
Sementara itu, RSF menyalahkan tentara Sudan atas pertempuran itu, dan menuduh pihak tentara melanggar gencatan senjata dan atas serangan di wilayah pemukiman dengan artileri dan pesawat tempur yang digambarkan sebagai "tindakan pengecut".
Pada Selasa, pemerintah Sudan Selatan mengumumkan bahwa dua jenderal berseteru di Sudan - komandan tentara Abdel Fattah al Burhan dan komandan paramiliter RSF Mohammed Hamdan "Hemedti" Dagalo - sepakat dengan gencatan senjata selama tujuh hari dimulai pada Kamis.
Sejak dimulainya pertempuran pada 15 April, lebih dari 550 orang telah tewas dan lebih dari lima ribu warga terluka, menurut pernyataan yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan Sudan.
Ketidaksepakatan terbentuk dalam beberapa bulan terakhir antara tentara dengan pasukan paramiliter mengenai integrasi RSF ke dalam angkatan bersenjata, sebuah syarat utama atas perjanjian transisi Sudan dengan kelompok-kelompok politik.
Sudan tidak memiliki pemerintahan yang berfungsi sejak Oktober 2021, ketika militer membubarkan pemerintahan transisi Perdana Menteri Abdalla Hamdok dan menyatakan keadaan darurat dalam langkah yang dikecam oleh kekuatan politik sebagai "kudeta".
Periode transisi Sudan, yang dimulai pada Agustus 2019 setelah pemecatan Presiden Omar al-Bashir, yang dijadwalkan berakhir dengan pemilihan umum pada awal 2024.