Selasa 09 May 2023 10:38 WIB

Konflik di Ukraina dan Sudan Picu Lonjakan Kasus Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit pembunuh menular terbesar di dunia saat ini.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
Ilustrasi Tuberkulosis. Pejabat tinggi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), pemimpin industri kesehatan, dan aktivis pada Senin (8/5/2023) menuntut agar dunia berinvestasi lebih banyak untuk mengembangkan vaksin baru dan mengatasi lonjakan tuberkulosis (TBC) yang dipicu oleh dampak Covid-19, termasuk konflik Ukraina dan Sudan.
Foto: Reuters
Ilustrasi Tuberkulosis. Pejabat tinggi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), pemimpin industri kesehatan, dan aktivis pada Senin (8/5/2023) menuntut agar dunia berinvestasi lebih banyak untuk mengembangkan vaksin baru dan mengatasi lonjakan tuberkulosis (TBC) yang dipicu oleh dampak Covid-19, termasuk konflik Ukraina dan Sudan.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Pejabat tinggi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), pemimpin industri kesehatan, dan aktivis pada Senin (8/5/2023) menuntut agar dunia berinvestasi lebih banyak untuk mengembangkan vaksin baru dan mengatasi lonjakan tuberkulosis (TBC) yang dipicu oleh dampak Covid-19, termasuk konflik Ukraina dan Sudan. Dalam sidang di markas PBB para aktivis yang meneriakkan 'Akhiri TB Sekarang'.

Selain itu, ada pidato dari banyak penderita TB dan pidato utama Wakil Sekretaris Jenderal PBB Amina Mohammed. Dia berbicara tentang bagaimana ayahnya menularkan tuberkulosis kepada saudara perempuannya yang berusia dua tahun.

Baca Juga

Mohammed mengatakan, TBC merenggut nyawa ayahnya pada usia 60 tahun, tetapi saudara perempuannya, yang sekarang berusia 50 tahun, masih hidup dan selamat dari TBC.

Mohammed mengatakan, upaya tanggapan global terhadap tuberkulosis telah menyelamatkan 74 juta nyawa sejak tahun 2000. Tetapi lebih dari 10,5 juta orang terjangkit penyakit ini dan diperkirakan 6,1 juta meninggal pada 2021. Sekarang TBC menjadi penyebab utama kematian orang dengan HIV.  

Mohammed mengatakan, epidemi TBC didorong oleh sejumlah faktor termasuk kemiskinan, kekurangan gizi dan HIV, serta secara tidak proporsional mempengaruhi yang paling rentan di semua negara. Mohammed menekankan bahwa penyebab penyakit ini harus diatasi.

Mohammed mengatakan, dibutuhkan anggaran sebesar 22 miliar dolar AS untuk memberikan akses pengobatan bagi semua orang yang didiagnosis TBC pada 2027, bersamaan dengan akses kesehatan dan tunjangan sosial sehingga mereka tidak menderita kesulitan keuangan. Selain itu, perlu tambahan anggaran senilai 5 miliar dolar AS per tahun untuk penelitian dan inovasi TBC.

“Kita dapat mengembangkan vaksin tuberkulosis yang aman dan efektif serta toko serba ada yang sederhana untuk pengujian dan perawatan berkualitas. Ini akan membawa sebuah perubahan," ujar Mohammed.

Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, Covid-19 telah mengubah dunia selama tiga tahun terakhir. Covid-19 tidak hanya menyebabkan jutaan kematian, namun jutaan orang juga kehilangan pelayanan kesehatan esensial termasuk tuberkulosis.

“Konflik di seluruh Eropa, Afrika, dan Timur Tengah telah membuat layanan penyelamat jiwa semakin sulit diakses oleh orang yang hidup dengan TBC. Tantangan-tantangan ini telah menjadi kemunduran dalam perang melawan TBC dan membalikkan beberapa pencapaian signifikan yang telah kami capai selama 20 tahun terakhir dalam memperluas akses ke pencegahan, pengujian, dan pengobatan," ujar Ghebreyesus

Ghebreyesus mengatakan pertemuan tingkat tinggi PBB pada September mendatang harus menjadi titik balik untuk menghidupkan kembali kemajuan dalam perang melawan TBC. Tidak hanya dengan memperluas alat yang ada tetapi juga mengembangkan alat baru termasuk vaksin TBC baru.  

"Itulah mengapa WHO mengusulkan pembentukan dewan akselerator vaksin TB untuk memfasilitasi pengembangan, perizinan, dan penggunaan vaksin TB baru,” kata Ghebreyesus.

Dr Özlem Türeci, kepala petugas medis BioNTech yang mengembangkan salah satu vaksin Covid-19 utama dengan Pfizer menggunakan teknologi messenger RNA, mengatakan, pihaknya memulai uji coba kandidat vaksin baru untuk TBC beberapa minggu lalu.

Direktur eksekutif Stop TB Partnership, Dr Lucica Ditiu, mengatakan, tuberkulosis adalah penyakit pembunuh menular terbesar di dunia saat ini. Penyakit ini merenggut nyawa sekitar 4.400 orang setiap hari di seluruh dunia termasuk 700 anak-anak.

Ditiu mengatakan, vaksin Covid-19 dikembangkan dalam waktu kurang dari setahun. Sementara butuh 19 tahun untuk mendapatkan tiga atau empat vaksin lain untuk uji coba TBC fase 3 karena kekurangan uang.

"Sebelum Covid-19, kami tidak melihat kasus TBC yang sangat dramatis. Tetapi setelah Covid-19, kami melihat jenis TBC di mana orang meludah darah dan mereka sangat lemah," ujar Ditiu.

Ditiu mengatakan dampak ekonomi dari Covid-19 dan konflik, juga berdampak sangat besar pada upaya untuk mengobati orang dengan TBC dan mendiagnosis kasus baru. Ukraina memiliki perkiraan jumlah tertinggi orang dengan TB di kawasan Eropa yaitu mencapai 34.000. Ukraina juga mencatat jumlah tertinggi kasus orang dengan TB yang resistan terhadap obat.

“Sungguh luar biasa, fakta bahwa orang Ukraina benar-benar menunjukkan ketangguhan yang luar biasa dalam melakukan yang terbaik untuk mempertahankan layanan TB. Tapi jelas banyak orang meninggalkan negara itu," kata Ditiu.

Ditiu mengatakan, upaya besar telah dilakukan untuk melacak mereka yang mengidap penyakit tersebut. Tetapi yang membuat semua orang khawatir adalah memastikan bahwa orang di Ukraina memiliki akses ke pengobatan.

Menurut Stop TB Partnership, yang dikelola oleh UN Office for Project Services dan bertujuan mencapai dunia yang bebas tuberkulosis, 18.000 orang di Sudan menerima pengobatan TBC pada 2021. Ditiu mengatakan situasi di Sudan bagi penderita TBC karena pertempuran yang sedang berlangsung dan runtuhnya sebagian besar sistem kesehatan kemungkinan seperti bom yang berdetak dan siap meledak kapan saja.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement