Kamis 11 May 2023 13:33 WIB

Penduduk Desa di Swiss akan Diungsikan Cegah Bencana Longsor Salju di Alpen

Para ahli geologi memprediksi akan terjadi bencana longsor salju di pegunungan Alpen.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Nidia Zuraya
Salju di pegunungan alpen. para ahli geologi memprediksi akan terjadi bencana longsor salju dua juta meter kubik batu di pegunungan Alpen.
Foto: BBC
Salju di pegunungan alpen. para ahli geologi memprediksi akan terjadi bencana longsor salju dua juta meter kubik batu di pegunungan Alpen.

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Pihak berwenang di Swiss timur memerintahkan penduduk desa kecil Brienz untuk mengungsi paling lambat Jumat (1/5/2023) malam. Hal ini karena para ahli geologi memprediksi akan terjadi bencana longsor salju dua juta meter kubik batu di Pegunungan Alpen.

Tumpukan batu dan salju Alpen yang menjulang di atas warga desa ini dapat pecah dan tumpah ke bawah dalam beberapa minggu mendatang. Para pemimpin setempat mengatakan dalam sebuah acara di balai kota dan acara media pada Selasa bahwa penduduk harus mengungsi sebelum pukul 18.00 pada Jumat.

Baca Juga

Namun, mereka dapat kembali ke desa tersebut sewaktu-waktu mulai Sabtu (13/5/2023), bergantung pada tingkat risikonya, tapi tidak boleh menginap. Desa yang telah berusia berabad-abad ini membentang di wilayah Graubunden timur yang penduduknya berbahasa Jerman dan Romansch, terletak di barat daya Davos pada ketinggian sekitar 1.150 meter (sekitar 3.800 kaki). Saat ini, desa ini memiliki kurang dari 100 penduduk.

Gunung dan bebatuan di atasnya telah bergerak sejak Zaman Es terakhir, kata pejabat setempat. Namun, pengukuran dalam waktu terakhir, menunjukkan adanya percepatan gerakan yang kuat di area yang luas. "Hingga dua juta meter kubik material batu akan runtuh atau meluncur dalam tujuh hingga 24 hari mendatang," kata para pejabat.

Selama satu abad terakhir, desa itu sendiri telah bergerak beberapa sentimeter (inci) setiap tahunnya, tapi pergerakannya semakin cepat selama 20 tahun terakhir. Tanah longsor telah bergerak sekitar satu meter (sekitar tiga kaki) per tahun. Survei geologi menunjukkan bahwa situasinya menjadi semakin genting.

Christian Gartmann, anggota dewan manajemen krisis di kota Albula, yang memasukkan Brienz ke dalam kotamadya, mengatakan bahwa para ahli memperkirakan ada 60 persen kemungkinan batu akan jatuh dalam potongan-potongan yang lebih kecil. Namun, kemungkinan potongan longsor itu tidak akan sampai ke desa atau lembah, walaupun tanah longsor juga bisa bergerak lambat.

Namun, ada juga kemungkinan 10 persen bahwa seluruh massa batuan longsor dua juta meter kubik itu akan jatuh, mengancam nyawa, harta benda dan desa itu sendiri.

"Kami berharap desa ini tetap utuh," kata Gartmann melalui telepon. "Kami tidak bisa menghilangkan kemungkinan bahwa itu (batu) akan jatuh ... Itu bisa merusak desa atau menghancurkannya."

Gartmann mengatakan bahwa pencairan gletser telah mempengaruhi kerentanan bebatuan selama ribuan tahun, namun mencairnya gletser akibat perubahan iklim akibat ulah manusia dalam beberapa dekade terakhir, bukanlah sebuah faktor.

Gartman menyebut, para ahli menyimpulkan bahwa ledakan terkendali untuk memicu longsoran batu terlalu berbahaya karena akan membutuhkan pengeboran di bawah batu--yang merupakan operasi yang berbahaya. Operasi lain dengan mendirikan tumpukan pasir raksasa atau dinding untuk mencoba menahan bebatuan juga tidak dianggap layak. Karena, katanya, tembok tersebut harus setinggi setidaknya 70 meter (230 kaki) untuk melindungi desa.

Banyak dari para pengungsi diperkirakan akan tinggal bersama keluarga atau teman, meskipun para pemimpin setempat telah menerima tawaran dari para tetangga yang peduli untuk menyediakan tempat tinggal sementara, katanya. Namun, pada tingkat siaga oranye saat ini, bahkan hewan ternak pun harus ditinggalkan.

Federico Pelico, pendeta di Albula dan Brienz, mengatakan bahwa mereka berhasil membongkar dan memindahkan altar yang berusia 500 tahun yang ada di sebuah gereja. "Gereja dan altarnya memang penting, tapi orang-orangnya lebih penting," katanya kepada The Associated Press dalam sebuah wawancara telepon.

Pelico mengatakan bahwa banyak penduduk desa yang sudah terbiasa mendengar suara gemuruh batu yang biasa terjadi selama bertahun-tahun. "Tapi, sekarang mereka tiba-tiba menyadari bahwa sesuatu yang buruk mungkin akan terjadi," katanya.

"Mereka harus meninggalkan desa mereka," ujarnya. 

"Ini bukan hanya bangunan. Ada emosi dan sejarah di sini. Saya melihat banyak air mata akhir-akhir ini." Pelico mengatakan bahwa anggota jemaatnya terbelah antara harapan dan rasa sakit.

"Tidak ada yang bisa Anda lakukan untuk melawan alam. Namun, jauh di dalam hati mereka, ada harapan bahwa mereka dapat kembali ke desa," katanya.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement