REPUBLIKA.CO.ID, IDLIB -- Pemimpin kelompok pemberontak yang menguasai sebagian besar barat laut Suriah menjadi terkenal selama dekade terakhir, dengan mengeklaim melakukan pengeboman mematikan, mengancam balas dendam terhadap pasukan Barat, dan mengirim polisi agama untuk menindak wanita yang dianggap berpakaian tidak sopan. Saat ini pria yang dikenal sebagai Abu Mohammed al-Golani berusaha keras untuk menjauhkan kelompoknya, Hayat Tahrir al Sham, yang dikenal sebagai HTS, dari bayang-bayang masa lalu Alqaeda.
Kelompok HTS kini aktif menyebarkan pesan pluralisme dan toleransi beragama. Sebagai bagian dari rebranding kelompok tersebut, al-Golani menindak faksi-faksi ekstremis dan membubarkan polisi agama yang terkenal kejam.
Untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade, umat kristen melakukan misa di sebuah gereja yang telah lama ditutup di Provinsi Idlib. Dalam sebuah pertemuan dengan peujabat agama dan pejabat lokal, Al-Golani mengatakan bahwa hukum Islam tidak boleh dipaksakan.
“Kami tidak ingin masyarakat menjadi munafik sehingga mereka beribadah saat melihat kami, dan tidak melakukan (ibadah) setelah kami pergi,” kata al-Golani.
Al-Golani merujuk ke Arab Saudi, yang telah melonggarkan kontrol sosialnya dalam beberapa tahun terakhir setelah puluhan tahun menerapkan aturan syariat yang ketat. Perubahan ini muncul saat kelompok al-Golani semakin terkucil.
Negara-negara yang pernah mendukung pemberontak dalam perang saudara di Suriah sedang memulihkan hubungan dengan Presiden Suriah Bashar Assad. Arab Saudi, yang pernah menjadi musuh Assad, berbalik arah dan memimpin upaya untuk kembali merangkul Suriah ke Liga Arab setelah 12 tahun isolasi regional.
Bahkan Turki, yang merupakan negara pendukung utama kelompok oposisi bersenjata di Suriah, telah mengisyaratkan pergeseran. Pekan lalu, menteri luar negeri Turki bertemu dengan menteri luar negeri Suriah di Moskow. Ini adalah pertemuan pertama sejak 2011.
Menteri luar negeri Rusia dan Iran, yang merupakan sekutu utama Assad, juga hadir dalam pertemuan itu. Pertemuan tersebut menandai langkah signifikan menuju pemulihan hubungan antara Damaskus dan Ankara.
Pada saat yang sama, Amerika Serikat menganggap HTS sebagai kelompok teroris dan telah menawarkan hadiah senilai 10 juta dolar AS untuk informasi tentang keberadaan al-Golani. PBB juga menetapkan HTS sebagai organisasi teroris. Awal bulan ini, AS dan Turki menjatuhkan sanksi terhadap dua orang yang diduga mengumpulkan uang untuk kelompok militan, termasuk HTS.
Al-Golani menjadi sorotan ketika bulan-bulan awal pemberontakan Suriah pada tahun 2011, saat dia menjadi pemimpin cabang Alqaeda di Suriah, yang pada saat itu dikenal sebagai Front Nusra. Militan dan pejabat tinggi dari Alqaeda Osama bin Laden bergerak ke basis operasi kelompok di Suriah utara, dan banyak dari mereka kemudian tewas dalam serangan AS.
Pada Juli 2016, Front Nusra mengubah namanya menjadi Front Fatah al-Sham dan mengatakan telah memutuskan hubungan dengan Alqaeda, yang dianggap oleh banyak orang sebagai upaya untuk memperbaiki citranya. Fatah al-Sham kemudian bergabung dengan beberapa kelompok lain dan menjadi Hayat Tahrir al Syam.
Selama periode itu, al-Golani menunjukkan wajahnya di depan umum untuk pertama kalinya. Dia mengubah gaya berpakaiannya dari turban dan jubah putih menjadi kemeja dan celana panjang. Pejuangnya mengejar militan kelompok ISIS yang melarikan diri ke Idlib setelah kekalahan mereka dan menindak Horas al-Din atau Penjaga Agama, yaitu kelompok militan lain yang mencakup anggota garis keras Alqaeda yang memisahkan diri dari HTS.
Namun, perubahan citra publik al-Golani tampaknya tidak mengesankan Pemerintah AS.