REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Kepala Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) di Jenewa, Ramesh Rajasingham mengatakan rencana kemanusiaan PBB untuk membantu masyarakat terdampak konflik di Sudan membutuhkan dana sebesar 2,56 miliar dolar AS. Rajasingham mengatakan lebih setengah dari populasi Sudan membutuhkan bantuan kemanusiaan.
"Hari ini, 25 juta orang, lebih dari setengah populasi Sudan membutuhkan perlindungan dan bantuan kemanusiaan, angka terbesar yang kami pernah lihat di negara ini," kata Rajasingham yang juga menjabat direktur Divisi Koordinasi OCHA, Rabu (17/5/2023).
"Dana yang dibutuhkan yang hampir 2,6 miliar dolar juga yang tertinggi dalam upaya kemanusiaan untuk Sudan," tambahnya.
Konflik antara Angkatan Bersenjata Sudan dan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) menciptakan krisis kemanusiaan di negara terbesar ketiga di Afrika. Memaksa lebih dari 700 ribu orang mengungsi di dalam negeri dan 150 ribu lainnya ke negara-negara tetangga.
Pada mulanya RSF dibentuk berdasarkan undang-undang yang disahkan parlemen Sudan pada tahun 2017. Lalu menjadi pasukan reguler di bawah komando Panglima Angkatan Bersenjata Sudan. Misinya memberikan dukungan kepada Angkatan Bersenjata Sudan dalam menghadapi milisi bersenjata di luar wilayah Darfur, memerangi penyelundupan manusia dan ikut melindungi wilayah perbatasan.
Pasca Revolusi Desember 2018, Komandan RSF Mohamed Hamdan Hemedti ditunjuk menjadi anggota Dewan Militer Transisi (TMC) yang dibentuk pada April 2019, dan selanjutnya ditunjuk menjadi Wakil Presiden Dewan Pemerintahan Transisi yang dibentuk pada Agustus 2019.
Selama empat tahun terakhir, jumlah personil RSF meningkat dari 21 ribu menjadi lebih dari 100.000 personil dengan dilengkapi persenjataan dan kemampuan tempur tinggi. RSF merekrut personilnya dari sejumlah negara Afrika Barat seperti Mali, Niger, Chad, dan Afrika Tengah lalu menaturalisasi sebagian besar dari mereka.
RSF juga menjelma menjadi jaringan kepentingan ekonomi, politik dan hubungan luar negeri yang ingin menandingi pemerintahan. Pimpinan RSF menginginkan proses penggabungan ke Angkatan Bersenjata dilakukan dalam kurun waktu sepuluh tahun.
Dalam kurun waktu itu, RSF merupakan kekuatan militer independen dan terpisah dari Angkatan Bersenjata Sudan. Angkatan Bersenjata Sudan menilainya sebagai pelanggaran disiplin militer.
RSF yang memiliki jumlah personil yang sangat besar dan berada di luar kendali Angkatan Bersenjata Sudan akan menjadi ancaman langsung terhadap keamanan nasional. Ketidaksepahaman inilah yang menjadi puncak perselisihan di antara kedua institusi.
Konflik pecah setelah omandan RSF memobilisasi sejumlah besar personilnya bersenjata lengkap di berbagai sudut ibu kota Khartoum. Sejumlah 50 ribu personil RSF pasukan disiapkan dalam format siaga tempur.
Tak hanya itu, mobilisasi juga dilakukan di berbagai kota lainnya, tanpa berkoordinasi dengan Angkatan Bersenjata Sudan. Padahal, proses politik yang tengah diupayakan menghendaki kembalinya aparat militer dan RSF ke barak, setelah terbentuknya pemerintahan transisi dari kalangan sipil.
Kepala negara Sudan sekaligus Panglima Angkatan Bersenjata Sudan terus mencermati bahaya eskalasi ancaman RSF, dimana hal ini juga menjadi ancaman bagi perdamaian dan stabilitas negara. Upaya untuk meredakan eskalasi ketegangan ini diupayakan melalui berbagai kekuatan politik di Sudan, selain juga upaya dari tiga pihak, yaitu: PBB, Uni Afrika dan IGAD.
RSF sangat yakin keberhasilan rencana mereka mengendalikan pemerintah secara paksa, berdasarkan indikator internal dan eksternal yang mendukung tren eskalasi tersebut. RSF terus memprovokasi militer Sudan dengan memobilisasi pasukannya di sekitar pangkalan udara di kota Marawi, 350 km sebelah utara Khartoum.
RSF juga menuntut pemecatan Menteri Dalam Negeri Sudan setelah kementeriannya berhasil mengungkap tindakan RSF menaturalisasi banyak orang Arab di negara-negara Sahara Selatan dan memasukkan mereka ke dalam personil RSF. Tindakan itu melanggar undang-undang naturalisasi di Sudan.