REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Pasukan khusus Inggris telah melakukan operasi rahasia di 19 negara, termasuk delapan negara Arab dan tiga negara Muslim, selama 12 tahun terakhir. Hal itu diungkap dalam laporan the Guardian pada Selasa (23/5/2023).
Berdasarkan bocoran media, sebuah laporan dari kelompok riset Action on Armed Violence (AOAV) yang mencantumkan sejumlah negara yang telah dikirimi pasukan elite Inggris sejak 2011. Operasi-operasi yang dilakukan termasuk penyelamatan sandera, eksfiltrasi, pelatihan agen, dan perlindungan.
Di dunia Arab, unit-unit tersebut dikirim ke Aljazair, Irak, Libya, Oman, Somalia, Sudan, Suriah, dan Yaman. Unit-unit itu juga dikirim ke negara-negara mayoritas Muslim, seperti Afghanistan, Pakistan, dan Mali.
Pemerintah Suriah merupakan target penting dengan unit-unit yang dikirim ke negara itu pada 2013 untuk mengidentifikasi lokasi yang memungkinkan untuk pengeboman menjelang kampanye udara yang direncanakan yang ditentang oleh Parlemen Inggris. AOAV mengatakan, misi berisiko tinggi di seluruh dunia diperintahkan langsung oleh perdana menteri atau menteri pertahanan dan sangat dirahasiakan.
Laporan tersebut mempertanyakan tingkat pengawasan yang diberikan pada operasi tersebut. Meskipun tindakan perang harus disetujui Parlemen Inggris, operasi pasukan khusus berskala kecil dapat dilakukan tanpa sepengetahuan anggota parlemen dan tidak tunduk pada penyelidikan komite.
Pada 2015, SAS dilaporkan telah diberi otonomi oleh Perdana Menteri David Cameron untuk menangkap dan membunuh para pemimpin kelompok Islam garis keras di Timur Tengah setelah serangan teror di Tunisia yang menewaskan 30 warga Inggris di sebuah hotel.
Awal tahun ini, pasukan khusus Inggris menjadi subjek pengawasan. Hal itu setelah penyelidikan publik menemukan bahwa unit-unit tersebut telah melakukan lebih dari 50 eksekusi tanpa pengadilan terhadap tersangka anggota Taliban di Afghanistan antara tahun 2010 dan 2011.
Direktur Eksekutif AOAV Iain Overton mengatakan, penempatan pasukan khusus Inggris yang ekstensif di berbagai negara selama dekade terakhir menimbulkan kekhawatiran serius tentang transparansi dan pengawasan demokratis. "Kurangnya persetujuan parlemen dan tinjauan retrospektif untuk misi-misi ini sangat meresahkan," katanya.