REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Calon presiden Turki Kemal Kilicdaroglu menjual retorika anti-migran untuk mencoba membalikkan keadaan di putaran kedua pemilihan presiden pada Ahad (28/5/2023). Presiden pejawat Recep Tayyip Erdogan berhasil mengunggulinya pada putaran pertama dan berhasil berkoalisi dengan Sinan Ogan yang berada di posisi ketiga.
Untuk menarik perhatian publik, Kilicdaroglu mengumumkan kesepakatan dengan pemimpin sayap kanan Victory Party Umit Ozdag untuk mendukungnya dalam putaran kedua pada 24 Mei 2023. Ozdag merupakan sosok yang memiliki pandangan anti-migran bahkan xenofobik yakni ketidaksukaan terhadap orang-orang dari negara lain atau yang dianggap asing.
Ozdag mengatakan, kepergian migran yang dijanjikan akan mengangkat "beban" ekonomi dan menghentikan Turki menjadi "istana migran". Menurut data resmi, Turki memiliki populasi pengungsi terbesar di dunia sebanyak lima juta jiwa.
Stereotip xenofobik pun digunakan dengan menuduh pengungsi Suriah dan Afghanistan melakukan pencurian, pelecehan seksual, dan kejahatan lainnya. Ozdag mengatakan, bahwa memulangkan migran akan membuat jalanan kembali aman.
Bahasa yang mengandung unsur xenofobik hingga poster anti-migran pun digunakan dalam kampanye terbaru Kilicdaroglu. Poster-poster yang digantung di tiang lampu dan di atas jalan bawah tanah sangat mengkhawatirkan warga Suriah.
"Bisakah seseorang dengan sedikit kemanusiaan menerima untuk melihat tanda-tanda yang tergantung di dinding sekolah dan jalan-jalan ramai yang mengancam akan mendeportasi warga Suriah?" tanya Ahmad, warga Suriah yang telah berkewarganegaraan Turki.
Ahmad menyatakan kekhawatiran tanda-tanda itu akan mempengaruhi anak-anak Suriah yang bisa membaca bahasa Turki karena mereka dididik dalam bahasa tersebut. Dia menggambarkan kampanye yang dilakukan Kilicdaroglu sebagai ujaran kebencian yang menjijikkan.
Meskipun Erdogan lebih ramah terhadap warga Suriah dan migran lainnya di Turki, dia juga mengambil langkah untuk mempercepat kembalinya migran ke Suriah. Janji-janji dari kedua pihak menyebabkan banyak orang bertanya-tanya apakah mereka harus memulai lagi setelah melarikan diri dari perang mematikan di tanah air.
Terlebih lagi, jika kembali ke Suriah, kondisi masih tidak stabil. Kehidupan di seberang perbatasan juga sangat sulit, dengan infrastruktur yang rusak, ekonomi yang porak-poranda, dan ancaman terus-menerus bahwa perang bisa tiba-tiba meletus lagi. Orang-orang di wilayah yang dikuasai pemberontak Suriah yang didukung Turki takut akan pembalasan jika pemerintah merebut kembali wilayah tersebut.
Dengan nasib mereka menjadi masalah politik yang berkembang, banyak warga Suriah mungkin masih merasa tidak nyaman bahkan jika Erdogan mengalahkan Kilicdaroglu. Seperti para pemimpin regional lainnya, Erdogan juga memperbaiki hubungan dengan Presiden Suriah Bashar al-Assad Keputusan itu meningkatkan kemungkinan pemulihan hubungan yang dapat membuat khawatir banyak warga Suriah di Turki.
Saad Abdalkader yang telah tinggal di Turki sejak 2015, mengatakan, dia tidak bisa membayangkan tidak ada stabilitas di Suriah ketika Assad memegang kekuasaan. Dia sedang mempertimbangkan untuk pergi ke Eropa untuk mencari keselamatan.
Abdalkader menceritakan sebuah kejadian ketika seorang teman dirampok tetapi dia khawatir akan diserang jika pergi ke polisi. Kondisi ini menggambarkan posisi genting yang dirasakan banyak orang Suriah di Turki.
Warga Suriah yang bekerja di lembaga ekonomi TEPAV yang berbasis di Ankara Omar Kadkoy mengatakan, warga Suriah masih menghadapi kesengsaraan dan ketakutan di negara asal. Mereka juga masih merasa seperti negeri asing.
"Ini bukan keputusan yang mudah untuk dibuat," katanya tentang kembali secara sukarela ke Suriah.
Bahkan untuk anak-anak Suriah di Turki, Suriah terasa tidak nyata. "Mereka dibentuk oleh segala sesuatu yang berbau Turki. Bagi mereka, Suriah adalah dongeng sebelum tidur," ujar Kadkoy.