Senin 29 May 2023 14:18 WIB

Sebut Pemilu Turki tak Adil, Kilicdaroglu Belum Akui Kemenangan Erdogan

Erdogan memperoleh 52,16 persen suara dukungan pada pemilu putaran kedua kemarin.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Nidia Zuraya
Pemimpin kelompok oposisi dan penantang Recep Tayyip Erdogan di pemilu Turki, Kemal Kilicdaroglu belum mengakui kekalahannya dan kemenangan Erdogan dalam pemilihan umum pada Ahad (28/5/2023).
Foto: AP
Pemimpin kelompok oposisi dan penantang Recep Tayyip Erdogan di pemilu Turki, Kemal Kilicdaroglu belum mengakui kekalahannya dan kemenangan Erdogan dalam pemilihan umum pada Ahad (28/5/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Pemimpin kelompok oposisi dan penantang Recep Tayyip Erdogan di pemilu Turki, Kemal Kilicdaroglu, belum mengakui kekalahannya dan kemenangan Erdogan dalam pemilihan umum pada Ahad (28/5/2023). Hal itu ia sampaikan dalam pidato pertamanya setelah penghitungan suara hampir selesai.

Kilicdaroglu menggambarkan pemilu kali ini sebagai pemilu yang paling tidak adil dalam sejarah Turki. "Pemilihan ini adalah salah satu periode paling tidak adil dalam sejarah," katanya kepada para wartawan di kantor pusat partai di Ankara, Senin (29/5/2023).

Baca Juga

"Saya berterima kasih kepada semua pendukung kami atas lebih dari 25 juta suara mereka. Teruslah berjuang untuk demokrasi. Saya memperjuangkannya dan saya memperjuangkan Anda dan akan terus melakukannya pada masa depan," ujarnya.

Kilicdaroglu mengecam pemerintahan Presiden Erdogan sebagai pemerintahan yang otoriter, dalam pidatonya yang berapi-api. Komentar calon presiden ini muncul setelah Erdogan mengeklaim kemenangannya dalam Pemilu Turki Ahad lalu.

Pemimpin Partai Rakyat Republik (CHP), yang dicalonkan oleh aliansi oposisi enam partai, itu masih meyakini dukungan 25 juta warga negara yang memilihnya. Dan Kilicdaroglu mengakui tidak menerima tanda-tanda kegagalannya.

Ini adalah kekalahan ke-13 CHP melawan Erdogan dan Partai AK, yang telah mendominasi lanskap politik Turki sejak 2002. Kılıçdaroğlu, yang mendapati dirinya sebagai ketua partai ketika pendahulunya Deniz Baykal mengundurkan diri pada 2010.

Para mantan anggota CHP telah vokal dalam menyerukan agar Kilicdaroglu mundur pada masa lalu karena partainya tidak pernah memiliki performa yang kuat dalam melawan Erdogan dan Partai Keadilan dan Pembangunan (AK Party) yang berkuasa.

Namun, Kilicdaroglu mengatakan bahwa ia akan melanjutkan perjuangannya demi kemakmuran dan perdamaian bangsa. "Perjalanan kami terus berlanjut, kami masih di sini," kata Kilicdaroglu.

Kilicdaroglu, yang memperoleh sekitar 47,84 persen suara dalam pemilihan putaran kedua pada hari Ahad lalu. Ia mengatakan, hasil tersebut menunjukkan keinginan masyarakat pendukungnya untuk mengubah pemerintahan yang otoriter. Dan dengan hasil itu, ia mengaku sedih dengan masalah yang akan menanti Turki ke depannya.

Sebagai kandidat presiden dari CHP, Kilicdaroglu mengatakan akan membawa kembali gagasan sekularisme Turki, yang telah mulai luntur selama 20 tahun masa kepemimpinan Erdogan. CHP-partai yang didirikan oleh Kemal Ataturk, pendiri negara ini, telah menarik para reformis seperti Kilicdaroglu ke dalam partainya.

Partai ini tetap didominasi oleh kelas politik Kemalis yang sekuler, menolak perempuan Turki yang mengenakan penutup kepala Islam (hijab) masuk ke universitas atau memasuki ruang publik lainnya. Kilicdaroglu juga ingin Turki menolak para imigran pengungsi Suriah memasuki wilayah Turki.

Di bawah Kilicdaroglu, CHP bergeser dari sikap statis dan menuju kepemimpinan yang lebih liberal dan berorientasi pada reformasi. Sehari setelah ia terpilih sebagai pemimpin, delegasi partai mengganti sebagian besar anggota lama dengan anggota yang lebih muda.

Pada tahun-tahun berikutnya, beberapa anggota lama mengkritik Kilicdaroglu karena melemahkan nilai-nilai CHP dan menerima anggota partai yang kontroversial-misalnya, seorang aktivis Kurdi dan pemimpin serikat pekerja pada tahun 2011, saat partai ini sedang rentan dalam pemilihan umum.

Kilicdaroglu sempat banyak dipuji Barat karena menentang pemerintah Erdogan yang semakin mengarah ke otoritarianisme. Setelah pemerintahan Erdogan dianggap terus membungkam kubu oposisi.

Terlebih pada 2017, pemerintah Erdogan mengeluarkan sebuah referendum konstitusional menghapuskan jabatan perdana menteri dan memberikan kekuasaan baru kepada kepresidenan. Ini semakin memperkuat kekuasaan Erdogan saat ia terpilih kembali menjadi presiden pada tahun 2018.

Jelang tahun pemilu, pada awal 2023, Kilicdaroglu mengonsolidasikan dukungan bersama dari enam partai oposisi - yang dikenal sebagai Aliansi Nasional. Kilicdaroglu muncul sebagai calon persatuan untuk menentang Erdogan pada pemilu mendatang. Selain itu, partai terbesar yang mewakili minoritas Kurdi tidak mengajukan kandidat.

Pada beberapa bulan sebelum pemilihan, partai minoritas Kurdi, Partai Demokratik Rakyat (Halkların Demokratik Partisi; HDP) ini, meminta para pendukungnya untuk memilih Kilicdaroglu. Meskipun Kılıçdaroğlu tidak dianggap sebagai kandidat yang menarik, Aliansi Nasional berharap latar belakang birokrasinya dan kepribadiannya yang rendah hati akan menarik para pemilih untuk memilihnya.

Pada Februari 2023, setelah gempa bumi besar yang melanda Turki, pada awalnya banyak kekecewaan yang muncul dari warga Turki yang menjadi korban gempa terkait kerusakan dan penanganan gempa. Hal itu memberi kesempatan bagi kelompok oposisi, khususnya Kilicdaroglu sebagai kandidat kuat melawan Erdogan.

Kilicdaroglu pun beberapa kali mendapatkan kemenangan dari survei yang dilakukan lembaga survei di Turki. Namun, kenyataannya dari hasil pemilu pertama kemarin, jumlah pendukung Kilicdaroglu masih berada di posisi kedua dengan sekitar 44,8 persen suara.

Walaupun Erdogan untuk pertama kalinya menerima suara kurang dari 50 persen dan ia terpaksa harus menghadapi Kilicdaroglu dalam pemilihan putaran kedua. Tapi, Kilicdaroglu tetap kalah suara dengan 47,84 persen, sementara Erdogan didukung lebih dari 50 persen, yakni 52,16 persen pada pemilu putaran kedua Ahad lalu.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement