Jumat 02 Jun 2023 05:00 WIB

Puluhan Bayi, Balita dan Anak-Anak Meninggal di Panti Asuhan Akibat Konflik di Sudan

Kondisi anak-anak panti asuhan di Sudan semakin mengenaskan.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nidia Zuraya
 Orang-orang yang melarikan diri dari konflik di Sudan (ilustrasi).  60 bayi, balita dan anak-anak meninggal dalam enam pekan terakhir
Foto: EPA-EFE/KHALED ELFIQI
Orang-orang yang melarikan diri dari konflik di Sudan (ilustrasi). 60 bayi, balita dan anak-anak meninggal dalam enam pekan terakhir

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Setidaknya 60 bayi, balita dan anak di atas lima tahun meninggal dalam enam pekan terakhir. Setelah mengalami kondisi mengenaskan di panti asuhan akibat perang faksi militer di Sudan. Sebagian besar meninggal dunia karena kekurangan makanan dan deman. Dua puluh enam meninggal dua hari selama akhir pekan lalu.

Tingkat penderitaan anak-anak terungkap dalam wawancara dengan lebih dari satu lusin dokter, sukarelawan, petugas medis dan pegawai panti asuhan Al-Mayqoma. Dokumen, foto dan rekaman video juga menunjukkan kondisi panti asuhan yang mengenaskan.

Baca Juga

Video yang diambil pegawai panti asuhan memperlihatkan jenazah anak-anak yang dibungkus dengan kain putih untuk dikuburkan. Dalam rekaman lain dua lusin balita hanya mengenakan popok duduk di sebuah ruangan, banyak dari mereka yang menangis. Terlihat seorang perempuan membawa dua termos air.

Seorang perempuan lainnya duduk di lantai membelakangi kamera, ia menggendong seorang anak. Pekerja panti kemudian menjelaskan para balita dipindahkan dari ruangan yang lebih besar setelah debu menyelimuti panti asuhan itu.

"Ini situasi bencana, ini sesuatu yang sudah diperkirakan dari hari pertama (pertempuran)," kata seorang sukarelawan di panti asuhan Omar Moustafa pada Associated Press, Rabu (31/5/2023).

Berdasarkan sertifikat kematian anak di panti asuhan itu yang meninggal dunia paling muda berusia tiga bulan. Empat orang pegawai panti asuhan dan lembaga amal kini membantu panti tersebut. Pada akhir pekan lalu 14 anak meninggal dunia pada hari Jumat (26/5/2023) dan 12 anak pada hari Sabtu (27/5/2023).

Kematian anak-anak ini menimbulkan kecaman dan amarah di berbagai media sosial. Lembaga amal lokal berhasil mengirimkan makanan, obat-obatan dan susu formula ke panti asuhan itu pada Sabtu lalu dengan bantua PBB, UNICEF dan Komite Palang Merah Internasional.

Pegawai panti asuhan memperingatkan kemungkinan semakin banyak anak yang dapat meninggal dunia. Mereka berharap dapat segera dievakuasi dari Khartoum yang kini menjadi medan pertempuran.

Pertempuran untuk menguasai Sudan pecah 15 April lalu. Jenderal Angkatan Bersenjata Abdel Fattah Burhan berperang melawan paramiliter Rapid Support Forces yang dipimpin Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo. Perang mengubah Ibukota Khartoum dan kota-kota lainnya jadi medan tempur. Banyak rumah dan infrastruktur sipil yang dijarah atau rusak akibat tembakan peluru nyasar.

Perang telah menimbulkan banyak korban jiwa termasuk rakyat sipil terutama anak-anak. Sindikat Dokter Sudan melaporkan sejak 15 April lalu sudah lebih dari 860 warga sipil termasuk 190 anak-anak tewas dan ribuan lainnya terluka. Angka sebenarnya diperkirakan lebih tinggi.

Saat ini sudah lebih dari 1,65 juta orang melarikan diri ke tempat yang lebih aman baik di dalam Sudan maupun luar negeri. Masih banyak warga yang terjebak di rumah mereka, tidak bisa keluar sementara pasokan makanan dan air kian menipis. Pertempuran juga mengganggu pengiriman bantuan kemanusian.

UNICEF mengatakan jumlah anak-anak yang membutuhkan bantuan kemanusiaan naik setelah perang. Dari sebelumnya 9 juta anak menjadi lebih dari 13,6 juta anak setelah perang.

Berdasarkan data yang diperoleh hingga Senin, setidaknya terdapat 341 anak di panti asuhan, termasuk 165 bayi usia antara satu sampai enam bulan dan 48 anak berusia tujuh sampai 12 bulan. Sementara  128 anak lainnya berusia satu sampai 13 tahun.

Salah satu pegawai dan mantan penghuni panti asuhan Heba Abdalla mengatakan terdapat dua lusin anak-anak yang dikirim dari rumah sakit Khartoum. Setelah rumah sakit tersebut tutup akibat kehilangan pasokan listrik.

Juru bicara militer, RSF, kementerian kesehatan dan kementerian pembangunan sosial, yang mengawasi panti asuhan, tidak menjawab permintaan komentar tentang panti asuhan.

Salah satu perawat yang dikenal sebagai Suster Teresa mengatakan situasi yang dihadapi anak-anak itu sangat mengerikan di tiga pekan pertama konflik pecah. Ia menambahkan pada satu titik anak-anak pernah terpaksa dipindahkan ke lantai pertama jauh dari jendela, untuk menghindari tembakan atau pecahan peluru secara acak.

“Ini seperti penjara, kami semua seperti tahanan yang bahkan tidak dapat melihat dari jendela. Kami semua terjebak, ” katanya.

Abdalla mengatakan makanan, obat-obatan, susu formula dan pasokan lainnya kian menipis karena pegawai panti tidak dapat keluar dan mencari pertolongan.

"Selama beberapa hari, kami tidak memiliki apa-apa untuk memberi mereka, mereka (anak-anak) menangis sepanjang hari karena kelaparan," katanya.

Panti asuhan itu tidak bisa dijangkau, Abdalla mengatakan jumlah perawat, pengasuh dan petugas lainnya turun. Banyak perawat merupakan pengungsi dari Ethiopia, Eritrea atau Sudan Selatan yang mengungsi seperti ratusan ribu orang lainnya.

"Kami akhirnya hanya memiliki satu atau dua pengasuh yang mengasuh lebih dari 20 anak, termasuk anak-anak difabel," kata salah satu sukarelawan Moustafa.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement