Rabu 07 Jun 2023 19:13 WIB

Bangladesh Berjanji tak Paksa Pengungsi Rohingya Kembali ke Myanmar

Pengungsi Rohingya tidak akan kembali ke Rakhine sebelum ada jaminan keamanan.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Ani Nursalikah
Pengungsi Rohingya berusaha memadamkan kebakaran besar di kamp Balukhali mereka di Ukhiya di Bangladesh.
Foto: AP/Mahmud Hossain Opu
Pengungsi Rohingya berusaha memadamkan kebakaran besar di kamp Balukhali mereka di Ukhiya di Bangladesh.

REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Badan PBB untuk Pengungsi (UNHCR) mengatakan, Bangladesh berjanji tidak akan melakukan repatriasi paksa terhadap para pengungsi Rohingya di negaranya. Pengungsi harus dalam keadaan sukarela atau bersedia jika hendak dipulangkan ke Myanmar.

“Pengungsi (Rohingya) yang ingin kembali harus memiliki akses ke informasi yang jelas dan faktual untuk dapat membuat keputusan yang bebas dan terinformasi,” kata Wakil Komisioner Tinggi UNHCR Kelly T. Clements setelah mengakhiri kunjungannya selama empat hari ke Bangladesh, Selasa (6/6/2023).

Baca Juga

“Dalam kondisi apa pun para pengungsi (Rohingya) tidak boleh dipaksa atau dipaksa untuk kembali, yang mana pemerintah (Bangladesh) meyakinkan kami (hal itu) tidak akan terjadi,” tambah Clements, yang bertemu dengan para pejabat pemerintah Bangladesh dan pengungsi Rohingya dalam kunjungannya.

Sebanyak 20 pengungsi Rohingya di Bangladesh telah melakukan kunjungan ke Maungdaw dan desa-desa terdekat di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, pada 5 Mei 2023 lalu. Kunjungan itu merupakan upaya untuk mendorong repatriasi sukarela ratusan ribu pengungsi Rohingya di Bangladesh ke Myanmar.

Terdapat tujuh pejabat Bangladesh yang mendampingi 20 pengungsi Rohingya mengunjungi Maungdaw dan sejumlah desa lainnya di Rakhine. Mereka bersama-sama menyaksikan pelaksanaan mekanisme otoritas Myanmar untuk memukimkan kembali para pengungsi. Namun, sebagian besar dari 20 pengungsi Rohingya yang berpartisipasi dalam kunjungan ke Rakhine masih ragu untuk pulang ke desa mereka.

Mereka menyatakan tidak akan kembali ke Rakhine sebelum ada jaminan keamanan, termasuk pemberian status kewarganegaraan oleh Myanmar. “Kami tidak ingin dikurung di kamp-kamp. Kami ingin mendapatkan kembali tanah kami dan kami akan membangun rumah kami sendiri di sana. Kami hanya akan kembali dengan kewarganegaraan dan semua hak kami,” kata Oli Hossain, salah satu pengungsi ikut dalam kunjungan ke Rakhine saat diwawancara Reuters, 6 Mei 2023 lalu.

Myanmar telah menawarkan kartu verifikasi nasional Rohingya (NVC). Namun, para pengungsi menganggap kartu itu tak memadai. “Myanmar adalah tempat kelahiran kami dan kami adalah warga negara Myanmar dan akan kembali dengan kewarganegaraan,” ujar Abu Sufian, pengungsi Rohingya yang juga berpartisipasi dalam kunjungan ke Rakhine.

Dia menekankan, warga Rohingya tidak akan pernah menerima NVC. “(Kartu) ini secara efektif akan mengidentifikasi Rohingya sebagai ‘orang asing’,” ujarnya seraya menambahkan junta Myanmar telah mengubah nama desanya di Rakhine.

Pejabat Bangladesh telah beberapa kali melakukan kunjungan ke Myanmar sebagai bagian dari upaya repatriasi pengungsi Rohingya. Namun, kunjungan ke Rakhine pada Jumat lalu merupakan yang pertama kali melibatkan langsung perwakilan pengungsi.

Militer Myanmar telah menunjukkan sedikit i'tikad untuk memulangkan pengungsi Rohingya ke Bangladesh ke Rakhine. Delegasi Myanmar sempat mengunjungi kamp-kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh pada Maret. Mereka memverifikasi beberapa ratus pengungsi yang akan dilibatkan dalam proyek percontohan repatriasi.

Seorang pejabat Bangladesh mengungkapkan, proyek percontohan itu bakal melibatkan sekitar 1.100 pengungsi Rohingya. Namun belum ditetapkan kapan proyek tersebut akan mulai dilaksanakan. Upaya repatriasi pada 2018 dan 2019 gagal karena para pengungsi masih takut menjadi sasaran kekerasan lagi jika kembali ke kampungnya.

Pada Agustus 2017, lebih dari 700 ribu Rohingya melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar, dan mengungsi ke Bangladesh. Hal itu terjadi setelah militer Myanmar melakukan operasi brutal untuk menangkap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Warga sipil ikut menjadi korban dalam operasi tersebut. Selain membakar permukiman, militer Myanmar dilaporkan turut memperkosa perempuan-perempuan Rohingya dan membantai para lelaki dari etnis tersebut.

Masifnya arus pengungsi ke wilayah perbatasan Bangladesh segera memicu krisis kemanusiaan. Para pengungsi Rohingya terpaksa harus tinggal di tenda atau kamp dan menggantungkan hidup pada bantuan internasional.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement