REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW – Presiden Rusia Vladimir Putin dan Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) melakukan percakapan via telepon, Rabu (7/6/2023). Mereka membahas kerja sama bilateral, terutama di bidang energi.
“Topik memastikan stabilitas di pasar energi dunia dibahas secara terperinci,” kata Kremlin dalam sebuah pernyataan yang dirilis di akun Telegram-nya.
Putin dan Pangeran MBS sama-sama mengapresiasi kerja sama Rusia-Arab Saudi di OPEC+. “Kedua belah pihak memuji kerja sama dalam kerangka OPEC+ yang memungkinkan penerapan langkah-langkah yang tepat waktu dan efektif untuk memastikan keseimbangan antara pasokan dan permintaan minyak,” ungkap Kremlin.
Pernyataan yang dirilis Kremlin mencatat pentingnya kesepakatan yang dicapai OPEC+ dalam pertemuan pekan ini, di mana Saudi akan melakukan pemotongan besar-besaran dalam produksi minyaknya pada Juli di atas kesepakatan OPEC+. Pada Ahad (4/6/2023) pekan lalu, selain meningkatkan pemangkasan sebesar 3,66 juta barel per hari (bph), OPEC+ sepakat mengurangi target produksi keseluruhan dari Januari 2024 sebesar 1,4 juta bph lebih lanjut menjadi output gabungan sebesar 40,46 juta bph.
Namun, perubahan tersebut mencakup penurunan target untuk Rusia, Nigeria, dan Angola hanya untuk menyesuaikannya dengan tingkat produksi saat ini. Pada Oktober 2022, OPEC+ memutuskan untuk memangkas produksi minyak hingga 2 juta bph setelah mereka melangsungkan pertemuan di Wina, Austria.
Jumlah tersebut setara dengan dua persen dari pasokan global. Keputusan pemangkasan produksi diambil dengan pertimbangan untuk menanggapi kenaikan suku bunga di Barat dan ekonomi global yang lebih lemah.
Amerika Serikat (AS) menjadi negara paling vokal yang mengkritik keputusan pemangkasan produksi minyak OPEC+. AS menuding OPEC+ “bersekutu” dengan Rusia terkait pemangkasan produksi minya. Saudi pun menjadi sasaran kegusaran Washington.
Setelah OPEC+ memutuskan memangkas produksi minyaknya, Presiden AS Joe Biden sempat mengumumkan akan meninjau kembali hubungan dengan Saudi. Biden merasa, hubungan bilateral kedua negara perlu dikalibrasi ulang untuk melayani AS lebih baik.