Senin 12 Jun 2023 09:06 WIB

Demonstrasi Anti-LGBTQ+ Meningkat

Pemicu serangan diduga berkaitan dengan upaya hukum untuk membatasi LGBT

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Serangan terhadap kelompok LGBTQ+ secara online maupun offline meningkat.
Foto: EPA
Serangan terhadap kelompok LGBTQ+ secara online maupun offline meningkat.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Serangan terhadap kelompok LGBTQ+ secara online maupun offline meningkat. Pemicu serangan diduga berkaitan dengan upaya hukum untuk membatasi hak-hak LGBTQ+ dan retorika politik yang mengobarkan percakapan nasional seputar isu-isu seperti drag show dan perawatan kesehatan transgender.

Seorang ilmuwan politik dan data di Universitas Harvard, Jay Ulfelder telah melacak demonstrasi anti-LGBTQ+ sejak 2017. Data tersebut menunjukkan, demonstrasi anti-LGBTQ+ mengalami peningkatan sekitar 30 kali lipat dibandingkan dengan 2017. Sementara protes terhadap kelompok sayap kanan naik hampir empat kali lipat.  

Baca Juga

Salah satu pemicu serangan yakni langkah hukum untuk membatasi hak LGBTQ+ yang meningkat. ACLU telah melacak 491 RUU anti-LGBTQ di badan legislatif negara bagian pada 2023. Ini adalah rekor tertinggi dalam satu abad terakhir.  Telah ada upaya yang dipimpin oleh Partai Republik untuk membatasi hambatan di setidaknya 15 negara bagian dalam beberapa bulan terakhir.

Tahun ini di Florida, pejabat pendidikan memperluas inisiatif Gubernur Ron DeSantis yang membatasi diskusi LGBTQ+ di sekolah hingga kelas tiga. Kebijakan ini juga dikenal sebagai RUU "Jangan Katakan Gay".

Para pendukung RUU anti-gay berpendapat bahwa hanya orang tua yang harus memutuskan kapan membahas topik seksualitas atau identitas gender dengan anak-anak.

Di dunia maya, cercaan untuk kelompok LGBTQ+ juga meningkat. Sebuah laporan dari Pusat Penanggulangan Kebencian Digital (CCDH) dan Kampanye Hak Asasi Manusia tahun lalu menemukan lonjakan 406 persen cuitan di Twitter yang mengejek kelompok LGBTQ+. Warganet mengejek kelompok LGBTQ+ dengan sebutan "groomer". Peningkatan terjadi setelah RUU "Jangan Katakan Gay" disahkan pada Maret 2022.

Direktur penelitian di Universitas Princeton yang melacak kekerasan politik secara nasional, Joel Day mengatakan, membuktikan kausalitas antara serangan online dan offline itu sulit. Dia memperingatkan, serangan online dan offline saling memperkuat satu sama lain.  

“Sebuah acara, seperti 'Jangan Katakan Gay', dapat meningkatkan obrolan di media sosial. Dan obrolan itu bisa meningkatkan kemungkinan kebijakan semacam itu," ujar Day.

photo
LGBTQ - (Tim infografis Republika)

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement