REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei menyambut baik kesepakatan nuklir dengan Barat selama infrastruktur industri nuklir Iran tak tersentuh.
"Tak ada yang salah dalam kesepakatan (dengan Barat), tetapi infrastruktur industri nuklir kami tidak boleh tersentuh," kata Khamenei dalam pertemuan dengan pejabat tinggi badan nuklir Iran dan ilmuwan nuklir di sela-sela pameran tentang prestasi nuklir Iran di Teheran, Ahad (11/6/2023).
Pernyataan tersebut ia sampaikan di tengah meningkatnya ketegangan antara Iran dan negara-negara Barat atas program nuklir dan pengayaan uranium yang signifikan oleh Teheran.
Pembicaraan yang bertujuan untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015, di mana AS secara sepihak menarik diri pada Mei 2019 dan di mana Iran seharusnya membatasi pengayaan uraniumnya hingga 3,67 persen, masih terhenti sejak Agustus lalu karena ketidaksepakatan utamanya antara Teheran dan Washington.
Khamenei menolak klaim bahwa Iran mengembangkan bom nuklir dengan mengatakan bahwa Teheran tidak menginginkannya berdasarkan keyakinan agama mereka. Dia justru menuduh negara-negara Barat, khususnya AS dan sekutunya di Eropa, serta badan nuklir Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tidak menepati janji.
Khamenei menekankan bahwa selama 20 tahun terakhir, Iran mengerti siapa pihak yang harus dipercaya dan siapa yang tidak. Lebih lanjut ia mengatakan kerja sama dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) harus dilanjutkan dalam kerangka peraturan pengamanan.
"Undang-undang parlemen yang menyerukan peningkatan pengayaan uranium pada awal 2021 juga tidak boleh dilanggar," ujar dia.
Di bawah undang-undang tersebut, Iran secara bertahap meningkatkan pengayaan uraniumnya, yang kini telah mencapai kemurnian hingga 60 persen. Pernyataan Khamenei muncul sehari setelah Kepala Nadan Nuklir Iran Mohammad Eslami mengatakan negara itu memperkaya uranium dalam skala yang lebih tinggi untuk memaksa Barat mencabut sanksi.
Dia menepis kekhawatiran atas proliferasi nuklir Iran, dengan mengatakan tujuan utamanya adalah untuk meyakinkan atau memaksa negara-negara Barat untuk mencabut sanksi yang diberlakukan kembali oleh mantan pemerintahan AS setelah keluar dari kesepakatan.