REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSWEL -- Dunia pecahan rekor suhu rata-rata terhangat pada awal Juni, mengalahkan rekor sebelumnya dengan margin yang substansial. Copernicus Climate Change Service (C3S) menyatakan, suhu udara permukaan rata-rata global untuk hari-hari pertama Juni 2023 adalah yang tertinggi dalam catatan data ERA5 untuk awal Juni dengan selisih yang substansial.
“Dunia baru saja mengalami rekor terpanas di awal Juni,” kata Wakil direktur Copernicus Climate Change Service (C3S), Samantha Burgess, pada Kamis (15/6/2023).
Para ahli mengatakan, lonjakan singkat di awal Juni menandai rekor panas global baru untuk bulan itu. Hal ini menunjukkan lebih banyak suhu ekstrem pada masa depan saat planet ini memasuki fase El Niño yang dapat berlangsung bertahun-tahun.
Para peneliti di unit Copernicus UE melaporkan pada awal Juni suhu udara permukaan global naik 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri untuk pertama kalinya. Menurut data, suhu rata-rata global harian berada pada atau di atas ambang batas 1,5 Celsius antara 7-11 Juni dan mencapai maksimum 1,69 Celsius pada 9 Juni. Copernicus UE mengatakan, pada 8 dan 9 Juni tahun ini, suhu harian rata-rata global sekitar 0,4 Celsius lebih hangat dari rekor sebelumnya untuk hari yang sama.
"Ketika suhu rata-rata global terus meningkat dan lebih sering melebihi batas 1,5 derajat Celsius, efek kumulatif dari pelampauan tersebut akan menjadi semakin serius dan harus dipantau secara hati-hati," demikian pernyataan Copernicus UE.
Hari-hari pada ambang batas 1,5 Celsius datang sebagai fase La Niña yang cenderung meredam efek pemanasan global. Sementara, periode El Niño dapat meningkatkan suhu rata-rata setengah derajat. Copernicus baru-baru ini mengumumkan bahwa lautan global bulan lalu lebih hangat daripada rekor pada Mei.
“Harapannya adalah tahun 2024 akan lebih hangat dari tahun 2023 karena El Niño ini terus berkembang,” kata Burgess.
Burgess mengatakan, semakin hangat iklim global, semakin besar kemungkinan dunia mengalami peristiwa ekstrem. "Jadi ada korelasi langsung antara tingkat pemanasan global dan frekuensi serta intensitas kejadian ekstrem," ujarnya.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, dunia berpacu menuju bencana perubahan iklim. Dia menggambarkan tanggapan global yang sangat tidak memadai. Guterres mengatakan, kebijakan iklim saat ini akan menyebabkan suhu rata-rata naik 2,8 derajat Celsius di atas masa pra-industri pada akhir abad ini, atau hampir dua kali lipat dari target PBB untuk kenaikan 1,5 derajat Celsius.
“Itu berarti malapetaka. Namun, tanggapan kolektif tetap menyedihkan. Kami meluncur menuju bencana, mata terbuka lebar dengan terlalu banyak yang bersedia mempertaruhkan semuanya pada angan-angan, teknologi yang belum terbukti, dan solusi peluru perak. Sudah waktunya untuk bangun dan melangkah,” kata Guterres.
Guterres mengatakan, industri bahan bakar fosil semestinya bukan hanya transisi tetapi transformasi besar-besaran saat bergerak menuju energi bersih dan menjauh dari produk yang tidak sesuai dengan kelangsungan hidup manusia. “Negara-negara jauh dari jalur dalam memenuhi janji dan komitmen iklim. Saya melihat kurangnya ambisi. Kurangnya kepercayaan. Kurangnya dukungan. Kurangnya kerja sama, dan banyak masalah seputar kejelasan dan kredibilitas," ujar Guterres.