REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Presiden Rusia Vladimir Putin menerima delegasi para pemimpin beberapa negara Afrika, yang mengemban misi mengupayakan solusi damai untuk konflik Rusia-Ukraina, Sabtu (17/6/2023). Pada kesempatan itu, Putin menjelaskan tentang sikap negaranya terkait perang yang kini masih berlangsung.
Salah satu hal yang ditekankan Putin dalam pertemuan dengan delegasi Afrika adalah tentang kesediaan Rusia untuk melakukan dialog bersama Ukraina.
"Rusia tidak pernah menolak untuk mengadakan pembicaraan," ujarnya, dikutip kantor berita Rusia, TASS.
Putin menjelaskan, krisis di Ukraina mulai muncul sejak peristiwa kudeta tahun 2014. Kala itu, mantan presiden Ukraina Viktor Yanukovych yang dianggap pro-Rusia digulingkan rakyat karena keputusannya menolak bergabung dengan pakta perdagangan Uni Eropa.
Dia justru meminjam bantuan finansial kepada Moskow dan menerima tawaran Rusia untuk bergabung dengan serikat pabean Eurasia. Rakyat Ukraina tak puas dengan keputusan tersebut dan menggelar demonstrasi selama sekitar tiga bulan hingga berujung pada penggulingan Yanukovych pada Februari 2014. Putin mengatakan, Barat mensponsori kudeta terhadap Yanukovych.
"Semua masalah Ukraina muncul setelah kudeta negara, inkonstitusional, bersenjata dan berdarah pada 2014, dan kudeta itu didukung oleh sponsor Barat. Mereka (Barat) tidak ragu untuk membicarakannya dan mereka membicarakannya, bahkan mengungkapkan berapa banyak uang yang telah mereka habiskan untuk persiapan dan implementasi kudeta tersebut. Oleh karena itu, sumber kekuatan penguasa Kiev saat ini adalah kudeta," ucap Putin kepada para delegasi Afrika.
Putin mengatakan, setelah kudeta tersebut, Rusia menawarkan dukungan kepada masyarakat di Donbass. Putin menjelaskan, sejumlah masyarakat di Donbass tidak mendukung kudeta dan menyatakan tidak akan mematuhi pemimpin baru Ukraina.
"Rusia terpaksa membela orang-orang itu, mengingat ikatan sejarah baik kami dengan wilayah serta budaya dan bahasa orang-orang yang tinggal di sana (Donbass). Untuk waktu yang lama, kami berusaha menyelesaikan situasi di Ukraina melalui cara damai," kata Putin.
Saat Ukraina membentuk pemerintahan baru pasca kudeta tahun 2014, Rusia mengerahkan pasukannya ke Krimea. Putin mengatakan langkah itu dilakukan untuk melindungi warga etnis Rusia di wilayah tersebut yang terancam oleh rezim baru Ukraina.
Kelompok oposisi dari pemerintahan Yanukovych mengecam aksi Rusia. Uni Eropa, NATO, dan Amerika Serikat (AS), turut mengkritik keras pengerahan pasukan Rusia ke Krimea.
Di tengah situasi demikian, otoritas Krimea menggelar referendum tentang reunifikasi dengan Rusia. Sebagian besar pemilih (96,7 persen di Krimea dan 95,6 persen di Sevastopol) mendukung gagasan tersebut. Jumlah warga yang berpartisipasi dalam proses referendum mencapai 80 persen.