REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Korea Utara (Korut) kemungkinan akan menggunakan senjata nuklirnya untuk memaksa konsesi politik dari Korea Selatan (Korsel) dan sekutunya, menurut laporan intelijen Amerika Serikat (AS) pada Kamis (22/6/2023).
Kantor direktur intelijen nasional (DNI) mencatat bahwa Pyongyang juga dapat menggunakan serangan non-nuklir dan tidak mematikan untuk dapat mencapai tujuannya di masa depan, percaya bahwa senjata nuklirnya akan mencegah serangan balik.
"Kami menilai bahwa hingga 2030, Kim Jong-un kemungkinan besar akan terus mengupayakan strategi pemaksaan, termasuk kemungkinan serangan non-nuklir mematikan. Tujuannya untuk memajukan target Korut mengintimidasi negara-negara tetangganya, memperoleh konsesi, dan memperkuat kredensial militer rezimnya di dalam negeri," menurut laporan berjudul "National Intelligence Estimate" (NIE) on North Korea.
Laporan tertanggal Januari 2023 itu dirilis pada Kamis sebagai bagian dari upaya transparan DNI, menurut Sydney Seiler, Pejabat Intelijen Nasional untuk Korut di Dewan Intelijen Nasional.
"Kim, yang sebagian besar mengandalkan tindakan koersif tidak mematikan selama pemerintahannya, mungkin akan menggunakan tindakan diplomatik dan rahasia yang ditargetkan dan mungkin menggunakan kekuatan militer terbatas untuk meningkatkan ketegangan sebagai sarana menekan sejumlah pemerintahan asing agar mengadopsi posisi yang menguntungkan tujuannya," lanjut laporan itu.
"(Korut) percaya diri bahwa kemampuan nuklirnya yang kian maju akan menghalangi pembalasan atau konsekuensi yang tidak dapat diterima," menurut laporan itu lebih lanjut.
Korut telah meluncurkan hampir 100 rudal balistik sejak awal tahun lalu, menembakkan 69 rudal balistik yang belum pernah terjadi sebelumnya pada 2022, menandai rekor tahunan baru rudal balistik yang ditembakkan.
Seiler mencatat bahwa Komunitas Intelijen (IC) AS menilai tiga skenario berbeda di mana pemimpin Korut dapat memutuskan untuk menggunakan senjata nuklir untuk tujuan koersif, ofensif atau defensif.
"IC menilai strategi serangan yang berusaha merebut wilayah, mencapai dominasi politik atas semenanjung dan mencapai tujuan yang akan mencakup penggunaan senjata nuklir akan jauh lebih kecil kemungkinannya, jauh lebih kecil kemungkinannya dibandingkan strategi pemaksaan," kata Seiler.
Pernyataan itu dia sampaikan saat berbicara di seminar yang digelar oleh Pusat Studi Strategis Internasional, sebuah badan strategi berbasis di Washington.
"Aksi bertahan seperti melakukan pelanggaran tampaknya sangat tidak mungkin dilakukan, dibandingkan dengan skenario koersif," tambah dia.
Seiler mencatat bahwa pendorong utama strategi pemaksaan Korut adalah kepercayaan dirinya bahwa pemaksaan akan menghasilkan keuntungan politik, ekonomi, dan militer sementara mereka juga percaya bahwa eskalasi ketegangan yang dihasilkan akan "dapat dikelola".
"Jadi Anda melihat provokasi di sepanjang sejarah Korut, satu hal yang sering kami lihat adalah bahwa provokasi ini cenderung tidak meningkat di luar kendali seperti yang biasanya dipikirkan orang," katanya dalam pertemuan itu.
"Kita bahkan mungkin melihat periode berkurangnya ketegangan di Semenanjung. Tapi sekali lagi kami merasa sangat tidak mungkin Kim akan melepaskan opsi yang sangat koersif yang telah disediakan oleh persenjataan nuklirnya," lanjut Seiler.
Terkait kemungkinan Pyongyang dapat sepenuhnya menyerahkan senjata nuklirnya, pejabat intelijen AS itu berpendapat bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan, setidaknya sampai mereka mencapai tujuannya.
"Yang belum saya sebutkan, salah satu pendorong di sini adalah biaya dan investasi yang luar biasa besar. ApakahKimakan mencoba mencari keuntungan dari investasi tersebut? Mengapa dia menghabiskan banyak uang untuk rudal dan senjata nuklir? Atau apakah Korut melakukan ini selama tiga dekade tanpa adanya ancaman eksistensial yang akan dapat terjadi?" kata Seiler.
"NIE mempertimbangkan tiga skenario tentang bagaimana Pyongyang bisa melihat nilai dan tujuan persenjataan nuklirnya yang berkembang hingga 2030. Kami menilai bahwa langkah koersif tersebut mungkin yang paling mungkin dilakukan ke depan, bahwa Kim kemungkinan besar akan menggunakan berbagai metode koersif dan ancaman agresi untuk memajukan pencapaian kebijakan keamanan nasionalnya," lanjut dia.