Selasa 27 Jun 2023 11:22 WIB

Ini Alasan Belarusia Terima Pasukan Wagner

Belarusia merupakan sekutu dekat Rusia

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Presiden Rusia, Vladimir Putin dan Presiden Belarusia Alexander Lukashenko. Belarusia merupakan sekutu dekat Rusia
Foto: Vyacheslav Viktorov via AP
Presiden Rusia, Vladimir Putin dan Presiden Belarusia Alexander Lukashenko. Belarusia merupakan sekutu dekat Rusia

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Rusia mengatakan pemimpin kelompok tentara bayaran Grup Wagner, Yevgeny Prigozhin, pindah ke Belarusia setelah menghentikan pemberontakannya di Moskow. Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan para pejuang Wagner bisa pindah ke Belarusia jika mereka mau.

Dilaporkan BBC, Belarusia merupakan sekutu dekat Rusia. Belarusia mengizinkan pasukan Rusia untuk menyerang Ukraina melintasi perbatasannya. Belarusia juga mengizinkan senjata nuklir Rusia ditempatkan di wilayahnya.

Baca Juga

Bagaimana Belarus membantu Rusia dengan Wagner?

Presiden Belarusia Alexander Lukashenko disebut bertindak sebagai perantara dalam negosiasi antara pendiri dan pemimpin tentara bayaran Grup Wagner, Yevgeny Prigozhin dan Presiden Rusia, Vladimir Putin. Menurut Kremlin, Prigozhin dan pasukannya meninggalkan Moskow, dan setuju untuk pindah ke Belarusia setelah bernegosiasi langsung dengan Lukashenko.

Namun, pemimpin oposisi Belarusia yang diasingkan, Svetlana Tikhanovskaya mengatakan, mengizinkan Prigozhin pindah ke Belarus akan menambah unsur ketidakstabilan di negara itu. "Kami tidak membutuhkan "lebih banyak penjahat dan bandit," ujar Tikhanovska.

Bagaimana Rusia menggunakan Belarusia untuk menginvasi Ukraina?

Rusia dan Belarusia mengadakan latihan militer bersama di dekat perbatasan Ukraina pada Februari 2022. Latihan ini berlangsung beberapa hari sebelum invasi besar-besaran Rusia di Ukraina. Pada 2021, Belarusia menandatangani perjanjian keamanan yang mengizinkan pasukan Rusia ditempatkan di negara mereka.

"Putin pasti memberikan banyak tekanan, karena Lukashenko selalu menolak menjadi tuan rumah pasukan Rusia sebelumnya," kata Emily Ferris dari lembaga think-tank, Royal United Services Institute.

Pada Januari dan Februari 2022, pasukan Rusia mengadakan latihan militer gabungan di Belarusia, dan sekitar 30.000 tentara Rusia menyerbu Ukraina dari wilayah Belarusia. Ini adalah rute terpendek ke Ibu Kota Ukraina, Kiev.

Setelah invasi, Belarusia mengubah statusnya dari negara netral dan non-nuklir. Hal ini memungkinkan pasukan Rusia menggunakan pangkalan udara militer Belarusia, termasuk menembakkan rudal dari wilayah itu, hingga menggunakan jalur kereta api dan jalan raya. Kendati demikian, Lukashenko berhasil mencegah pasukan Belarusia bertempur di Ukraina.

"Dia melakukan segalanya untuk menghindari terlibat dalam perang. Ini mungkin bagian terakhir dari legitimasi yang dimiliki Lukashenko," kata Oleg Ignatov dari International Crisis Group.

Mengapa Belarusia strategis bagi Rusia?

Belarusia adalah negara Eropa timur yang terkurung daratan, dan berbatasan dengan Rusia dan Ukraina. Belarusia adalah republik bekas Uni Soviet hingga 1991.

Belarusia memiliki populasi sembilan juta penduduk, dan merupakan salah satu negara termiskin di Eropa. Di masa lalu, Belarusia digambarkan sebagai kediktatoran terakhir Eropa.  Pemerintah Belarusia telah dikritik keras karena menekan kebebasan sipil dan membatasi pers.

Presiden Lukashenko telah menjabat sebagai pemimpin Belarusia sejak 1994. Inggris, Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat tidak lagi mengakui Lukashenko sebagai presiden karena mereka yakin pemilu telah dicurangi.

Pemilihan presiden terakhir pada 2020 memicu protes berbulan-bulan, yang ditindas secara brutal oleh pasukan keamanan. Kremlin mendukung Lukashenko, dengan menawarkan untuk mendukung pasukan keamanannya dan memberikan pinjaman darurat sebesar 1,5 miliar dolar AS.

"Lukashenko memutuskan hubungan dengan Barat, dan dia menjadi terisolasi dari rakyatnya sendiri. Ini membuatnya semakin bergantung pada Rusia," ujar Dr Nigel Gould-Davies, mantan duta besar Inggris untuk Belarusia yang sekarang aktif di International Institute for Strategic Studies.   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement