REPUBLIKA.CO.ID, JENIN -- Bagian dalam rumah Bassem Tahayneh di kamp pengungsi Jenin tampak seperti diterbangkan tornado. Lemari setinggi langit-langit di dalam kamar tidur putrinya roboh di atas tempat tidur, empat layar televisi ditarik dari dinding dan dihancurkan, ubin di lantai rusak, hingga kabel yang menghubungkan rumah ke jaringan listrik dipotong.
Pria berusia 41 tahun itu adalah satu dari ribuan warga Palestina di kamp Jenin, yang terpaksa meninggalkan rumahnya selama serangan tentara Israel yang dimulai pada Ahad (2/7/2023). Saat kembali beberapa hari kemudian, dia menemukan bagian dalam rumah mereka hampir hancur total.
"Tidak ada apa pun di rumah ini yang layak digunakan. Ini bencana," kata ayah tiga anak itu pada pagi hari setelah tentara Israel mundur dari kamp, lebih dari dua hari setelah serangan dimulai.
Menurut Tahayneh, butuh waktu setidaknya sebulan untuk memperbaiki semuanya agar keluarganya bisa tinggal kembali di dalam rumah. "Saya belum bisa membawa istri dan anak saya kembali ke rumah. Saya tidak bisa membiarkan mereka melihat reruntuhan ini," ujarnya.
Serangan terhadap kamp pengungsi Jenin di wilayah pendudukan Tepi Barat adalah yang terbesar dalam dua dekade. Tentara Israel untuk pertama kalinya sejak 2006 meluncurkan serangan udara skala besar.
Tentara Isarel menggunakan pesawat tak berawak bermuatan rudal untuk menyerang bagian-bagian kamp, sebelum tentara menyerbu dengan berjalan kaki dan tetap di sana selama kurang lebih 48 jam. Sedikitnya 1.000 tentara dan puluhan kendaraan lapis baja berpartisipasi dalam penyerangan tersebut.
Kementerian Kesehatan Palestina menyatakan, bahwa 12 warga Palestina, termasuk tiga anak, meninggal dalam serangan itu. Sementara sedikitnya 120 lainnya terluka, termasuk 20 orang yang masih dalam kondisi kritis. Menurut Bulan Sabit Merah, setidaknya 3.000 orang terpaksa meninggalkan rumah mereka di Jenin karena takut dibunuh.
Salah satu yang terpaksa meninggalkan area itu adalah Tahayneh dan keluarganya. Mereka masih tinggal di lingkungan Hawasheen di kamp pengungsi Jenin pada hari pertama penyerangan.
“Tentara berdiri di pintu masuk lingkungan dan mulai berteriak melalui pengeras suara: 'Semua orang di lingkungan ini, kalian punya waktu 10 menit untuk meninggalkan rumah kalian. Kami akan menembaki semua rumah,'” ujar Tahayneh mengenang momen tersebut.
Seperti kebanyakan rumah di dalam kamp, rumah Tahayneh tidak hanya rusak. Tempat tinggalnya juga digunakan sebagai pangkalan militer untuk menargetkan pejuang Palestina.
Lubang yang cukup besar dibor ke dinding luar sejumlah besar rumah yang digunakan tentara untuk menempatkan penembak jitu. Sementara lusinan selongsong peluru kosong berserakan di lantai mereka.
Makanan di dalam rumah para warga pun dimakan dan dilempar ke mana-mana, termasuk lantai. Sementara peralatan medis militer tentara Israel seperti kain kasa dan kabel ditemukan tertinggal.
“Ketika kami kembali, kami menemukan bahwa mereka telah meledakkan pintu depan kami dan mereka mengambil alih rumah dan menggunakannya sebagai markas. Ada lubang raksasa di dinding kamar tidur saya yang mereka gunakan untuk penembak jitu mereka,” kata Tahayneh menyatakan, kotak kue kurma yang dibuat istrinya untuk hari raya Idul Adha yang berakhir pekan lalu dibuka dan dimakan habis.
Kamp pengungsi Jenin adalah rumah bagi setidaknya 23.600 warga Palestina yang diusir dari rumah asal pada 1948 selama Nakba. Jenin telah melihat serangan serupa di masa lalu, terutama pada 2002 selama Intifada kedua.