Senin 10 Jul 2023 21:25 WIB

Peneliti di Ghana Antisipasi Pandemi Baru dengan Meneliti Kelelawar

Mengingat pandemi Covid, virus yang dibawa oleh kelelawar menjadi fokus penelitian.

Kelelawar memiliki banyak virus di tubuhnya. (ilustrasi)
Foto: Pixabay
Kelelawar memiliki banyak virus di tubuhnya. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Kelelawar sangat penting bagi ekosistem dunia, tetapi mereka dikenal sebagai pembawa beberapa virus. Namun ulah manusia yang melakukan pemababatan hutan hingga semakin merambah habitat kelelawar, menimbulkan risiko penularan virus yang dibawa kelelawar ke manusia. Untuk itu para ilmuan di Ghana melakukan penelitian terhadap kelelawar untuk mengetahui apakah ada virus baru yang berpotensi ditularkan dan bisa menjadi pandemi.

Sebuah tim ilmuwan dari sekolah kedokteran hewan Universitas Ghana berada di Kebun Binatang Accra. Ini adalah waktu koloni kelelawar buah di penangkaran mulai bergerak. Di saat yang sama ini waktu terbaik bagi para peneliti menganalisis kotoran kelelawar, atau guano.

Baca Juga

Mereka terlibat dalam upaya internasional untuk memprediksi pandemi berikutnya melalui kelelawar. Para ilmuan mengenakan APD lengkap memasuki kandang kelelawar. Meski saat itu sangat panas dengan APD lengkap mereka memasuki kandang dan membentangkan terpal putih di tanah.

Ilmuwan utama Dr Richard Suu-ire telah mempelajari kelelawar selama bertahun-tahun. Dia menjelaskan bahwa APD diperlukan bukan hanya untuk melindungi para peneliti dari virus yang dibawa kelelawar, tapi juga melindungi kelelawar dari virus yang mungkin di bawa para manusia. “Jadi ini adalah perlindungan dua arah,” kata Suu-ire, dilansir dari laman BBC News, Senin (10/7/2023).

Masih banyak misteri tentang satu-satunya mamalia yang terbang ini, serta sistem kekebalan mereka yang luar biasa. Entah bagaimana kelelawar dapat membawa banyak virus tetapi tampaknya tidak menyebabkan mereka sakit.

Ghana telah bergabung dengan negara-negara seperti Bangladesh dan Australia sebagai bagian dari proyek global yang disebut Bat OneHealth, yang menyelidiki bagaimana patogen ditularkan dari satu spesies ke spesies lain dan apa yang dapat dilakukan untuk mencegah peristiwa penularan ke manusia.

Mengingat pandemi Covid, virus yang dibawa oleh kelelawar menjadi fokus penelitian ini termasuk virus corona.

Dr Suu-ire menjelaskan bahwa mereka sedang menguji paramyxovirus dan virus corona pada kelelawar. Pada manusia, virus ini lebih akrab dialami sebagai penyakit seperti gondongan, campak, dan infeksi saluran pernapasan. Dia menggambarkan kelelawar sebagai "reservoir" karena mereka membawa infeksi tanpa menjadi sakit sendiri.

"Jadi kami ingin memantau dan melihat apa yang sedang terjadi,” kata Dr Suu-ire.

Dia mengatakan ketika mereka bekerja dengan populasi kelelawar liar, mereka tidak mendeteksi Covid-19. Hari ini, timnya juga menguji superbug di kotoran kelelawar. Para ilmuwan telah memberi makan buah pepaya kelelawar dan, setelah kelelawar buang air besar di atas terpal, mereka mengambil kotoran oranye terang dan menyimpannya dalam tabung reaksi.

photo
NeoCov, viru corona baru yang ditemukan pada kelelawar. - (Republika)

 

Universitas Ghana telah berada di garis depan bidang penelitian baru ini, dengan proyek ini menjadi yang pertama dari jenisnya. Namun, masih banyak celah dalam pemahaman ilmiah. Pada akhirnya, apa yang mereka coba temukan adalah apakah ada bakteri di kotoran kelelawar yang kebal terhadap antibiotik.

Dr Suu-ire berkata jika ada resistensi, mereka akan menemukan antibiotik mana yang membuat kelelawar resistan. “Di masa depan kami akan mencoba mengisolasi gen resisten dari bakteri ini,” ujarnya.

Ini bukan satu-satunya penelitian kelelawar yang dilakukan di Universitas Ghana. Dr Kofi Amponsah-Mensah juga sedang memasang jaring hijau yang tinggi, untuk menangkap beberapa kelelawar untuk diperiksa, ukur, dan akhirnya dilepaskan kembali ke alam liar. Sebagai seorang ahli ekologi, dia khawatir tentang bagaimana manusia semakin merambah habitat kelelawar. Dia menunjukkan bahwa tingkat deforestasi di Ghana tinggi, dengan banyaknya pertambangan yang merusak vegetasi yang merupakan habitat alami kelelawar.

"Saya pikir kita hanya menggunakan kelelawar sebagai ‘kambing hitam’ untuk area di mana kita telah gagal sebagai manusia. Kitalah yang merambah (habitat) kelelawar, Anda tahu, dan mengotak-atik ekosistem. Ini jelas menyebabkan lebih banyak kontak dan kemudian kemungkinan beberapa penyakit ini muncul,” kata Dr Amponsah-Mensah.

 

Bahaya konsumsi daging kelelawar...

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement