Rabu 19 Jul 2023 21:52 WIB

HRW: Junta Myanmar Langgar Lima Poin Konsensus ASEAN Setiap Hari

Kekerasan junta, terutama terhadap etnis Rohingya, terus berlangsung.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Esthi Maharani
HRW mengungkapkan, kekerasan junta, terutama terhadap etnis Rohingya, terus berlangsung.
Foto:

Isu Myanmar disorot dalam perhelatan ASEAN Foreign Ministers Meeting (AMM) ke-56 dan Post Ministerial Conference (PMC) yang digelar di Jakarta pada 11-14 Juli 2023 lalu. Indonesia selaku ketua ASEAN tahun ini mengklaim sudah melakukan keterlibatan ekstensif dan intensif dengan berbagai pihak dan pemangku kepentingan di Myanmar. Namun aksi kekerasan di sana masih berlangsung.

“Isu Myanmar sangat kompleks. ASEAN harus melakukan hal yang tepat sejalan dengan Lima Poin Konsensus (Five Points of Consensus),” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi saat memberikan keterangan pers di hari terakhir perhelatan AMM/PMC yang digelar di Hotel Shangri-la, Jumat (14/7/2023).

Dia menekankan, Indonesia sebagai ketua ASEAN tahun ini akan terus mengambil langkah yang tepat untuk menangani krisis Myanmar. “Dan kita harus melakukan hal yang tepat untuk rakyat Myanmar,” ujarnya.

Menlu mengatakan, implementasi Lima Poin Konsensus masih merupakan prioritas bagi ASEAN untuk membantu Myanmar. Dia menyebut keterlibatan Indonesia dengan berbagai pihak di Myanmar mendapat dukungan penuh. Seluruh negara anggota ASEAN juga sepakat mendorong dilakukannya dialog inklusif di Myanmar. “Negara anggota ASEAN mengecam masih terus berlangsungnya penggunaan kekerasan,” ucap Retno.

Krisis di Myanmar pecah setelah militer melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil di sana pada Februari 2021. Mereka menangkap pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan beberapa tokoh senior partai National League for Democracy (NLD). NLD adalah partai yang dipimpin Aung San Suu Kyi.

Setelah kudeta, hampir seluruh wilayah di Myanmar diguncang gelombang demonstrasi. Massa menentang kudeta dan menyerukan agar para pemimpin sipil yang ditangkap dibebaskan. Namun militer Myanmar merespons aksi tersebut secara represif dan brutal.

Dalam laporannya yang diterbitkan pada Juni 2023 lalu, Peace Research Institute Oslo mengungkapkan, sejak kudeta pada Februari 2021, lebih dari 6.000 orang terbunuh di Myanmar. Sementara itu PBB menyebut, setidaknya 1,2 juta orang juga telah terlantar atau kehilangan tempat tinggal akibat pertempuran pasca-kudeta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement