Kamis 27 Jul 2023 05:18 WIB

28 Persen Warga Israel Ingin Pindah Negara Karena Perombakan Yudisial

Moody's mengeluarkan peringatan jika perpecahan di dalam Israel berlanjut.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
 Para pengunjuk rasa berkumpul di luar Knesset menjelang protes massal di Yerusalem, Israel,  27 Maret 2023.
Foto: EPA-EFE/ABIR SULTAN
Para pengunjuk rasa berkumpul di luar Knesset menjelang protes massal di Yerusalem, Israel, 27 Maret 2023.

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Menurut survei yang dilakukan oleh Channel 13, lebih dari seperempat warga Israel mempertimbangkan untuk pindah negara. Mereka berpikir untuk pindah ke luar negeri karena perombakan yudisial oleh pemerintah.

Hasil survei yang dirilis pada Selasa (25/7/2023) menunjukkan 28 persen responden berpikir untuk meninggalkan Israel, dan 64 persen masih ingin menetap di Israel. Sementara 8 persen responden tidak memberikan kepastian.

Baca Juga

Selain itu, lebih dari separuh responden meyakini reformasi peradilan akan mengancam keamanan Israel. Sementara 56 persen khawatir perombakan yudisial akan menimbulkan perang saudara di Israel. Jajak pendapat juga mengungkapkan bahwa 55 persen responden menginginkan pemimpin oposisi Yair Lapid dan Benny Gantz untuk kembali bernegosiasi dengan pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu terkait perombakan yudisial.

Empat surat kabar Israel terkemuka menutupi halaman depan mereka dengan tinta hitam. Satu-satunya kata di halaman itu ada di baris di bagian bawah: “Hari kelam bagi demokrasi Israel.”

RUU peradilan pada Senin (24/7/2023) disahkan dengan suara bulat oleh koalisi pemerintahan, yang mencakup partai-partai ultra-nasionalis dan ultra-religius. Sementara oposisi langsung keluar meninggalkan ruang rapat di parlemen sambil meneriakkan "Memalukan!".

Para penentang mengatakan mereka belum selesai berperang, sedangkan kelompok-kelompok hak sipil mengajukan petisi ke Mahkamah Agung, menyerukan agar undang-undang baru dibatalkan. Aksi protes kembali mengguncang jalan-jalan di Israel setelah pengesahan undang-undang tersebut.

“Protes ini tidak akan kemana-mana, terutama karena pemerintah telah dengan jelas menyatakan bahwa ini baru tahap pertama,” kata Presiden Institut Demokrasi Israel, Yohanan Plesner.

Ratusan ribu orang turun ke jalan-jalan di Tel Aviv. Mereka membakar ban, menyalakan kembang api, dan mengibarkan bendera Israel.  Di Yerusalem, polisi berkuda dan meriam air yang menyemprotkan cairan berbau busuk membubarkan pengunjuk rasa dari jalan raya utama.  Setidaknya 40 orang ditangkap oleh polisi dalam protes di seluruh negeri.

Video menunjukkan petugas polisi menyeret pengunjuk rasa, memukuli orang sampai berdarah dan dengan kasar mendorong mereka dengan tongkat. Polisi mengatakan, setidaknya 10 petugas diserang dan terluka.

Pada Selasa, Moody's mengeluarkan laporan yang memperingatkan risiko signifikan jika perpecahan di dalam Israel terus berlanjut, dan pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu terus bergerak maju dengan perombakan undang-undang peradilan. Hal ini dapat menimbulkan konsekuensi negatif bagi situasi ekonomi dan keamanan Israel. Para analis mengatakan, perombakan undang-undang itu mengancam ketegangan hubungan dengan Pemerintah Amerika Serikat (AS), membahayakan aliansi baru Israel dengan negara-negara Arab dan memperdalam konflik dengan Palestina.

"Saya pikir negara ini akan terpecah menjadi dua negara atau habis sama sekali,” kata Yossi Nissimov, seorang pengunjuk rasa yang ikut mendirikan tenda di luar Knesset atau parlemen, di Yerusalem.

Pemungutan suara untuk mengesahkan undang-undang itu dilakukan beberapa jam setelah Netanyahu keluar dari rumah sakit. Netanyahu mendapatkan perawatan di rumah sakit untuk memasang alat pacu jantung.

Ketua Mahkamah Agung, Esther Hayut, bersama dengan lima hakim senior lainnya, mempersingkat perjalanan ke Jerman untuk menangani krisis tersebut. Para hakim pulang pada Selasa malam atau sehari lebih awal dari yang dijadwalkan untuk membahas petisi menentang perombakan peradilan tersebut.

Namun setiap langkah pengadilan untuk membatalkan undang-undang baru dapat menyebabkan krisis konstitusional, dan menempatkan para hakim pada jalur perselisihan yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan pemerintah. Pendukung perombakan yudisial mengatakan, kekuasaan hakim harus dibatasi untuk meningkatkan kekuasaan pejabat terpilih.

Sementara para penentang mengatakan, perombakan yudisial akan merusak demokrasi Israel dan mengikis satu-satunya kendali negara dalam sistem pemerintahan. Dalam sistem pemerintahan Israel, perdana menteri memerintah melalui koalisi di parlemen, yang pada dasarnya memberinya kendali atas cabang pemerintahan eksekutif dan legislatif. Oleh karena itu, Mahkamah Agung memainkan peran pengawasan yang kritis.  

Pada Selasa, Jaksa Agung Gali Baharav-Miara mengajukan banding ke pengadilan tinggi untuk membatalkan undang-undang yang disahkan awal tahun ini. Undang-undang tersebut mencabut kekuasaannya untuk mencopot perdana menteri dari jabatannya. Menanggapi banding tersebut, Netanyahu mengatakan, pengadilan seharusnya tidak ikut campur dalam masalah ini.

Sejarawan Israel Tom Segev mengatakan, perombakan yudisial telah mengungkap perpecahan sosial dan agama di Israel. “Ini adalah awal dari keseluruhan rencana untuk mengubah nilai-nilai dasar masyarakat,” kata Segev. 

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement