Kamis 27 Jul 2023 14:22 WIB

Orang Arab Berada di Sela Pertempuran Demokrasi di Israel

Jumlah orang Arab mencapai seperlima dari 9,7 juta penduduk Israel.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
 Para pengunjuk rasa berkumpul di luar Knesset menjelang protes massal di Yerusalem, Israel,  27 Maret 2023.
Foto: EPA-EFE/ATEF SAFADI
Para pengunjuk rasa berkumpul di luar Knesset menjelang protes massal di Yerusalem, Israel, 27 Maret 2023.

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Ribuan orang Israel memblokir jalan dan bentrok dengan polisi atas reformasi peradilan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Sisi lain, warga Arab berbagi meme daring tentang diri mereka sendiri menyaksikan krisis sebagai penonton yang tidak terpengaruh dengan isu yang dibawa.

Orang Arab merupakan seperlima dari 9,7 juta penduduk Israel. Mereka juga sebenarnya dapat menjadi salah satu yang paling terpengaruh oleh dorongan kontroversial pemerintah agama-nasionalis.

Baca Juga

Namun, mereka menunjukkan keprihatinan yang lebih dalam daripada perdebatan tentang keseimbangan kekuatan. "Kami berada dalam pertempuran terus-menerus untuk keberadaan kami," ujar pensiunan guru Adnan Haj Yahia yang berusia 67 tahun di sebuah kedai kopi di Taybeh, sebuah kota Arab tengah yang berbatasan dengan wilayah pendudukan Tepi Barat.

Melihat iklan protes yang menutupi halaman depan surat kabar Israel terkemuka dengan kata-kata 'hari hitam untuk demokrasi', Yahia mengatakan, itu menggambarkan realitas sehari-hari komunitasnya. Sebagian besar warga Arab di Israel adalah keturunan orang Palestina yang tinggal setelah perang 1948.

Mayoritas dari kelompok ini mengidentifikasi diri sebagai orang Palestina. Mereka telah lama memikirkan tempat dalam politik, menyeimbangkan warisan Palestina dengan kewarganegaraan Israel.

Sementara yang lain dengan hangat memperdebatkan identitas negara sebagai Yahudi dan demokratis. "Warga Palestina tidak memiliki tempat dalam formula ini," kata pendiri kelompok hak asasi Adalah yang berbasis di Haifa Hassan Jabareen.

Jabareen memiliki pengalaman lebih dari dua dekade mengajukan petisi ke Mahkamah Agung tentang kasus hak minoritas. Dia mengatakan, pengadilan secara tradisional menjadi garis pertahanan terakhir dalam kasus diskriminasi ekstrem dan tidak masuk akal.

Pengacara ini mengutip melindungi partisipasi Arab dalam pemilihan, alokasi anggaran yang adil dan hak untuk tinggal di kota-kota yang menolak tempat tinggal orang Arab. Namun, dia mengatakan, warga Palestina berada dipersimpangan dengan memegang kewarganegaraan Israel atau hidup di bawah pendudukan militer.

Keturunan Palestina pun dulu memiliki sedikit harapan di pengadilan yang kini sudah semakin konservatif yang telah mendukung rancangan undang-undang seperti Undang-Undang Negara-Bangsa 2018. Dalam aturan ini menyatakan hanya orang Yahudi yang memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri.

"Diskriminasi di Israel adalah resmi. Ini adalah satu-satunya negara di dunia yang menolak gagasan bahwa negara harus menjadi negara bagi semua warganya," kata Jabareen.

Sementara, Israel mengatakan reformasi peradilan memberi hak yang sama, banyak orang Arab mengatakan, mereka menghadapi diskriminasi struktural dan kebijakan yang bermusuhan. Sebuah laporan 2021 oleh Institut Demokrasi Israel menemukan, kesenjangan sosial dan ekonomi yang signifikan antara warga Yahudi dan Arab, dengan kemiskinan di antara orang Arab lebih dari tiga kali lipat.

Orang Arab sebagian besar dipekerjakan dalam pekerjaan industri berpenghasilan rendah. Mereka cenderung tinggal di kota dan desa yang penuh sesak dengan kekurangan infrastruktur dan sekolah yang kurang dana.

Bahaya pengawasan yang lebih lemah terhadap eksekutif jelas bagi warga Palestina. Menurut anggota parlemen Aida Touma-Sliman dari partai Hadash Arab-Yahudi, kondisi ini terasa di bawah pemerintah yang telah memperluas pemukiman di Tepi Barat dan terdiri dari menteri senior yang mengobarkan sentimen terhadap mereka.

Awal tahun ini Amerika Serikat (AS) mengecam komentar Menteri Keuangan Isral Bezalel Smotrich sebagai hasutan untuk melakukan kekerasan. Dia menyinggung agar sebuah desa Palestina di Tepi Barat harus dihapus oleh Israel.

Tapi banyak yang tetap berada di sela-sela. Menurut Touma-Sliman, mereka tidak melihat diri sendiri tercermin dalam gerakan protes yang berkembang. Gerakan ini dinilai penuh dengan simbol nasionalis dan militeristik.

“Komunitas Palestina berusaha berjuang untuk bertahan hidup. Prioritas utama warga Palestina saat ini adalah untuk hidup. Prioritas utama para pengunjuk rasa, pengunjuk rasa Yahudi, adalah hidup dalam demokrasi," kata Touma-Sliman.

Sebaliknya, warga Palestina selama berbulan-bulan telah memobilisasi untuk mengatasi krisis yang berbeda. Mereka menghadapi rekor tingkat kekerasan kriminal yang mengguncang komunitas.

Sebanyak 130 warga Arab telah meninggal dunia dalam penembakan terkait kejahatan sejak Januari. Jumlah tersebut, menurut data yang dikumpulkan oleh kelompok advokasi yang berkampanye melawan kekerasan, dua kali jumlah kematian selama periode yang sama tahun lalu.

Bukan hanya jumlah korban meninggal yang meningkat tetapi efek melumpuhkan kelompok kejahatan terorganisasi terhadap komunitas lokal yang tidak lagi merasa aman. Tokoh masyarakat dan anggota telah mendesak perdana menteri untuk mengambil tindakan, menuduh pemerintah dan polisi melakukan pengabaian sistemik.

Netanyahu dalam pernyataan langka setelah pembunuhan lima orang dalam satu hari pada Juni mengatakan, pemerintah bertekad untuk memerangi kejahatan terorganisasi dan memulihkan ketenangan. 

 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement