REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia diketahui menggunakan perangkat siber buatan Israel untuk kegiatan spionase. Analis dan pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie tidak mempersoalkan bila Indonesia diketahui menggunakan perangkat mata-mata Israel untuk kebutuhan mata-mata.
Apalagi, kata dia, ketika perangkat teknologi tersebut dinilai cukup canggih untuk saat ini. Namun, ia menekankan penggunaan itu hanya untuk sementara waktu, sambil Indonesia juga mempelajari teknologinya, sehingga mampu dibuat atau diproduksi di dalam negeri.
"Tangkapan sederhana saya, ojo kagetan..yang musti diajari itu di era global seperti ini kita tidak mungkin menutup diri, apalagi karena alasan like or dislike," kata Connie kepada wartawan, Jumat (4/8/2023).
Karena itu, Connie merasa aneh bila Indonesia begitu anti Israel. Menurut dia, untuk hal-hal kemampuan dan kapasitas teknologi Indonesia harus banyak belajar dari Israel. Tentu ia menekankan hal itu tanpa mengurangi semangat Indonesia yang berjuang bersama Palestina atas penjajahan oleh Israel.
Sementara, dia melanjutkan, sangat banyak ketergantungan teknologi saat ini, terutama dalam perang intelijen transfer teknologi itu sangat penting. "Dari jaman F16 yang harus diambil umpet-umpetan sampai sekarang negara masih harus umpet-umpetan menggunakan teknologi Israel terhadap rakyatnya," ujar Connie.
Walaupun, ia memuji, saat ini Indonesia dianggap banyak negara sudah cukup memiliki kemampuan untuk memproduksi beberapa alutsista. Hal itu tentu harus diperkuat, kemampuan berdikari dan kemandirian dalam aspek produksi alutsista, terutama alat perang berteknologi canggih dan perangkat spionasenya.
"Makanya saya selalu salute dan hormat pada orang Indonesia yang mengedepankan kemampuan berdikari dalam industrinya, mau itu di bidang sipil atau militer," katanya.
Sebelumnya bocor informasi bahwa Pakistan dan Indonesia, dua negara berpenduduk mayoritas muslim dan tidak memiliki hubungan dengan Israel ternyata telah menggunakan perangkat digital siber untuk spionase produksi Israel, Cellebrite.
Cellebrite yang memiliki kemampuan spyware peretasan dan menyalin semua data informasi yang tersimpan di dalamnya, termasuk pesan teks, kontak, gambar, dan dokumen--dianggap sebuah pelanggaran terhadap aktivis hak asasi manusia dan kelompok minoritas.
Produsen perangkat spyware ini telah menjual produknya ke beberapa negara yang dituduh melakukan pelanggaran terhadap aktivis hak asasi manusia dan kelompok minoritas. Di antaranya ke Belarus, Cina, Uganda, Venezuela, Indonesia, Rusia, Filipina, Ethiopia, dan Bangladesh.