REPUBLIKA.CO.ID,BEIJING – Cina telah merilis film serial dokumenter baru yang memperlihatkan persiapan militer mereka menyerang Taiwan. Dalam film berjudul “Chasing Dreams” itu turut ditunjukkan loyalitas para tentara Cina yang siap mengorbankan nyawa mereka jika diperlukan.
Film Chasing Dreams diluncurkan dalam delapan segmen. Ia mulai ditayangkan oleh China Central Television (CCTV) awal pekan ini untuk memperingati 96 tahun berdirinya Tentara Pembebasan Rakyat Cina. Dalam film tersebut, Cina menampilkan sejumlah latihan tempur, salah satunya yang bertajuk “Joint Sword”.
Latihan Joint Sword mensimulasikan serangan presisi terhadap Taiwan. Latihan itu digelar pada April lalu, setelah kunjungan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen ke Amerika Serikat (AS). Selain latihan tempur dan simulasi serangan, dalam Chasing Dreams juga ditampilkan kesaksian puluhan tentara Cina yang siap gugur dalam potensi operasi ke Taiwan.
“Jika perang pecah dan kondisinya terlalu sulit untuk melepaskan ranjau angkatan laut dengan aman dalam pertempuran yang sebenarnya, kami akan menggunakan tubuh kami sendiri untuk membuka jalur aman bagi pasukan (pendaratan) kami,” ujar Zuo Feng, salah seorang anggota Angkatan Laut Cina yang kesaksiannya menjadi bagian dari film.
Li Peng, seorang pilot dari Skuadron Wang Hai di bawah Angkatan Udara Cina, membuat pernyataan serupa dengan Zuo Feng. “Jet tempur akan menjadi rudal terakhir yang meluncur menuju musuh jika dalam pertempuran nyata saya telah menggunakan semua amunisi saya,” ucapnya.
Film Chasing Dreams turut menampilkan Shandong, satu dari tiga kapal induk Cina. Ia berlayar dalam formasi dengan beberapa kapal perang lainnya. Cina telah berulang kali mengerahkan Shandong ke Selat Taiwan dalam beberapa bulan terakhir. Aksi tersebut dipandang sebagai perang saraf Beijing terhadap Taipei.
Pada 28 Juli 2023 lalu AS mengumumkan akan memberikan bantuan militer sebesar 345 juta dolar atau setara Rp5,2 triliun untuk Taiwan. Paket tersebut merupakan tambahan dari hampir 19 miliar dolar AS penjualan jet tempur F-16 dan sistem senjata utama lainnya yang telah disetujui Washington untuk Taipei.
Menurut dua pejabat, Washington akan mengirimkan sistem pertahanan udara portabel manusia atau MANPADS, kemampuan intelijen dan pengawasan, senjata api, dan rudal. Anggota parlemen AS telah menekan Pentagon dan Gedung Putih untuk mempercepat pengiriman senjata ke Taiwan. Tujuannya adalah untuk membantu Taipei menghadapi potensi serangan oleh Negeri Tirai Bambu.
Selain itu, para anggota parlemen AS menilai, pengiriman senjata ke Taiwan akan mencegah Beijing mempertimbangkan inisiatif serangan. Sebelumnya Washington telah menyetujui penjualan pesawat tempur F-16 dan sistem senjata utama lainnya senilai hampir 19 miliar dolar AS. Namun pengiriman senjata-senjata itu terhambat oleh gangguan rantai pasok yang timbul selama pandemi Covid-19. Tekanan terhadap industri pertahanan global akibat konflik Rusia-Ukraina turut berperan dalam gangguan tersebut.
Berbeda dengan kesepakatan penjualan senjata tersebut, paket bantuan terbaru AS merupakan bagian dari otoritas presiden yang disetujui Kongres tahun lalu. Untuk paket bantuan ini, AS diperkenankan menarik persediaan senjata dari stok yang dimilikinya. Dengan demikian Taiwan tak perlu menunggu produksi dan penjualan militer. Hal itu membuat senjata lebih cepat dikirim daripada menyediakan dana untuk senjata baru. Pentagon juga menggunakan otoritas serupa untuk mengirimkan amunisi bernilai miliaran dolar ke Ukraina.
Dalam sebuah wawancara dengan Associated Press awal tahun ini, Wakil Menteri Pertahanan AS Kathleen Hicks mengungkapkan, memasok persenjataan ke Taiwan sebelum pecahnya konflik adalah salah satu pelajaran yang diambil Washington dari serangan Rusia ke Ukraina. “(Ukraina) lebih merupakan pendekatan awal yang dingin daripada pendekatan terencana yang telah kami kerjakan untuk Taiwan, dan kami akan menerapkan pelajaran itu,” ucapnya.
Taiwan merupakan salah satu isu yang membuat hubungan AS dan Cina dibekap ketegangan. Cina diketahui mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya. Namun Taiwan berulang kali menyatakan bahwa ia adalah negara merdeka dengan nama Republik Cina. Taiwan selalu menyebut bahwa Beijing tidak pernah memerintahnya dan tak berhak berbicara atas namanya. Situasi itu membuat hubungan kedua belah pihak dibekap ketegangan dan berpeluang memicu konfrontasi.
AS tidak memiliki hubungan resmi dengan Taiwan karena mengakui prinsip satu-Cina. Namun dalam ketegangan di Selat Taiwan, Washington berpihak dan mendukung Taiwan untuk mempertahankan diri.